Bantargebang. Sebuah daerah yang jika mendengar
namanya maka yang terbayang adalah kotor, penyakit, pemulung, dan semua yang
berhubungan dengan sampah. Memang, tak ada yang dapat menyalahkan persepsi itu,
masing-masing punya pendapat, meski kita juga tidak adil jika hanya melihat
satu sisi saja. Ada hal lain yang mesti kaji dari sana. Ada sisi berbeda yang
harus kita ketahui dari sekadar pemahaman dangkal. Bersyukur. Ya, sebuah kata
yang jarang diingat. Bersyukur karena Bantargebang menjadi tempat pembuangan
sampah akhir bagi warga sekitarnya, bersyukur karena ada pemulung menjadikannya
mata pencaharian, bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk hidup
berkecukupan, tanpa harus mengalami hal itu.
Bantargebang. Sebuah daerah yang menjadi destinasi
kegiatan sosial LPDP di hari ke-7 Pelatihan Kepemimpinan Angkatan 13 (PK13).
Jadilah, hari Jumat tanggal 20 Juni 2014 menjadi hari bersejarah bagi kami
peserta PK13. Dengan 3 bus besar, 7 kelompok beriringan menuju Bantargebang.
Sesampainya di sana, kami dibagi dalam 58 kelompok kecil, masing-masing
beranggotakan 2 orang yang didampingi 1 pemulung. Tugas kami adalah terjun
langsung menemani mereka bekerja selama 2 jam. Saya sendiri sekelompok dengan
Mas Haris dan bapak Syarki. Bapak yang sederhana, murah senyum, dan sangat baik
dalam kata dan tingkah.
Kami berdua diajak oleh
Pak Syarki ke salah satu tempat pembuangan akhir sampah tersebut. Hal yang
pertama kali saya rasakan adalah bau, jijik, dan ngeri (belatung di mana-mana).
Tetapi, melalui percakapan akrab dan hangat di antara kami, pekerjaan pun
lama-kelamaan menjadi lebih ringan dan terbiasa. Pak Syarki menginstruksikan
bahwa kami harus mencari sampah plastik, karena semua pemulung ada jatah
masing-masing. Tidak boleh mengambil barang yang bukan menjadi hak pembagian
kita. Sebuah pelajaran berharga untuk calon pemimpin masa depan bangsa.
Sambil bekerja, kami
bertanya mengenai kehidupan Pak Syarki. Beliau mengatakan bahwa pekerjaan ini
sudah 7 tahun dilakoninya, pindah dari daerah asalnya Karawang bersama anak dan
istrinya. Sebelumnya, beliau bekerja sebagai petani ikan bandeng. Tetapi karena
penghasilannya yang kurang, beliau memutuskan pindah ke tempat ini. Anaknya 3, yang
paling sulung adalah perempuan, sementara kuliah semester 2 dan sangat
membanggakan orang tua. Dari SMP, anak itu mendapatkan beasiswa dari salah satu
yayasan. Dan itu berlaku hingga
sekarang. Pak Syarki mengatakan bahwa tidak mungkin anaknya bisa kuliah jika
mengharapkan biaya dari beliau. Penghasilannya hanya cukup untuk makan
sehari-hari. Sampah plastik yang dikumpulkan oleh Pak Syarki disimpan kurang
lebih 2 minggu agar padat. Setelah itu baru ditimbang dan dijual, harganya Rp.
40.000 per kwintal. Meski begitu, tak pernah sekalipun terdengar keluhan
darinya. Saya memang sering mendengar dan melihat dari media, tapi dengan
merasakan dan terjun langsung ke daerahnya serta melakoni kegiatan Pak Syarki,
semakin menambah rasa syukur dan rendah hati.
Saya sempat menanyakan apakah ada puskesmas di
daerah ini. Beliau mengatakan bahwa puskesmas jaraknya beberapa kilometer dari
sini dan untuk sekali periksa, mereka harus merogoh kocek yang lumayan dalam.
Kebetulan, selain tugas individu, ada pula tugas kelompok yaitu Social Creative Contribution dengan
pilihan tema (untuk kelompokku) “Penyuluhan Dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis”.
Pak Syarki sangat antusias mendengar hal tersebut. Satu lagi yang membuat saya
kagum kepada bapak ini, beliau mengarahkan kami untuk mencuci tangan dan kaki
yang kotor di rumahnya, meski air juga terbatas, bahkan merelakan sabunnya
digunakan bersama. Dalam keadaan hidup susah, betapa banyak ladang amal yang
ditanaminya. Pelajaran berharga lainnya untuk kami.
Beberapa gunungan sampah yang semakin lama
semakin bertambah di Bantargebang, telah ditimbun tanah sehingga menciptakan
bukit hijau. Masih banyak hal yang perlu dibenahi di sini, dan sebagai calon
pemimpin bangsa, kami harus turut berkontribusi untuk membuat kehidupan warga
Bantargebang menjadi lebih baik sesuai dengan bidang ilmu masing-masing dan tentu
saja kerjasama berkelanjutan di antara kami, khususnya peserta PK13. Saya
sendiri memiliki cita-cita untuk membuat pembangkit listrik tenaga sampah,
semoga dapat terlaksana dengan bantuan moril dan materiil dari berbagai pihak.
Untuk sekarang, fokus menuntut ilmu sebanyak-banyaknya dan menyelesaikan S2
dahulu.