Lain ceritanya waktu masih SD, lagi pengen-pengennya punya rambut hitam dan panjang ala bintang iklan
Sesuatu yang belum dimiliki memang kadang sangat berharga di pikiran
Teringat waktu kecil, saat SD tepatnya, seringnya rambutku dipotong pendek. Alasannya agak sedikit miris, mama tidak bisa membantu menguncir atau mengikatkan rambutku seperti anak-anak lain karena beliau bekerja. Tepatnya, seorang guru di SD tempatku sekolah. Tak ayal, rasa iri menggodaku, ingin seperti mereka teman-temanku yang setiap pagi hari datang ke sekolah dengan rambut kuncir kudanya, kepang seribunya dan variasi rambut lainnya. Tentu saja mereka bisa setiap hari ganti gaya rambut, ibunya bukan ibu pekerja, mereka bebas menyiapkan sarapan untuk anaknya, setelahnya membantu memasangkan sepatu, tak lupa pula menguncir rambut panjangnya. Meski sarapanku tak terlewat karena ada nenek di rumah, tetap saja masalah rambut ini serius.
Alhasil, setiap rambutku panjang, perasaanku bisa terbagi dua. Di satu sisi, aku senang karena ini adalah hal yang paling kutunggu sejak lama. Di sisi lain, mataku siap-siap menangis lagi karena dipaksa mencukur rambut sama mama. Rambut pendek menjadi momok tersendiri buatku. Pernah satu kali aku nekat tak mau memotongnya, dengan dalih bisa mengurus rambutku sendiri. Tekad itu begitu kuat sampai mama mendapatkan kenyataan bahwa bukannya tambah cantik, anak gadisnya malah kutuan dan terlihat semakin kurus dengan rambut panjang. Jadilah, sore setelahnya rambutku dipotong diiringi oleh tangisku yang sebenarnya tak berarti apa-apa. Kata mama "kan bagus kalau pendek, nda repot diurus pas mau ke sekolah. Kalau panjang, nanti kamu malah terlambat masuk kelas hanya gara-gara rambut. " Tetap saja wajahku menggembung kala itu.
Ternyata, masalah rambut berimbas ke pemahamanku. Aku selalu berandai-andai mama bukan ibu pekerja, beliau tinggal di rumah seperti ibu teman-temanku. Pasti rambutku bisa sepanjang mereka. Terlintaslah di pikiran, bahwa ibu pekerja itu tidak baik. Banyakan sibuknya, sampai tidak sempat mengurus rambut anak sendiri.
Setelah dewasa, barulah mindset itu berubah. Di posisi manapun seorang ibu, memutuskan jadi ibu rumah tangga atau ibu pekerja, masalah rambut eh maksudnya masalah keluarga tetap harus jadi prioritas. Aku pun kini paham, mama seperti itu karena beliau anak tunggal, beliau punya tanggung jawab tersendiri dengan status itu. Ditambah lagi, beliau adalah tipe pekerja keras, terdidik dari kecil untuk lebih banyak bergeraknya dibanding diamnya.
Untuk mama, terima kasih atas kemandirian yang engkau tanamkan sejak aku kecil. Kini buah itu mulai kupetik hasilnya...