Bismillahirrahmanirrahim
Beberapa pekan lalu, atau tepatnya beberapa bulan yang lalu, pimpinan sekolah memberikan penawaran yang mungkin bagi sebagian orang sangat diharapkannya. Aku pun begitu, tetapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Yah, menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Waktu itu, air mata tanpa sengaja turun di pipiku, bahkan saat mereka bercanda mengatakan bahwa awalnya memang dipaksa, lama-lama juga akan terbiasa. Mereka menyebutkan setiap alasannya, mengapa menurut mereka aku layak mendapatkan amanah itu.
Hal tersebut berlalu begitu saja, dan aku pun kadang memikirkan, kadang tidak. Pekerjaan yang beruntun membantu otak overthinking ini rehat sejenak. Tapi tak kusangka, beberapa pekan kemudian, tawaran itu (tepatnya keharusan, hehe) datang lagi. Aku sempat tenang karena ternyata ada beberapa nama yang diajukan selain namaku. Singkatnya, aku tidak punya alasan syar'i untuk menolak amanah itu. Dengan berbagai pertimbangan, namaku lah yang diajukan ke yayasan dan mereka setuju. Aku sekali lagi galau, tak lupa kuminta pendapat Allah melalui istikharah dan musyawarah dengan mama. Hasilnya, jalan itu semakin jelas, hatiku tiba-tiba dibalikkan untuk menerima amanah itu.
Jika ada yang bertanya mengapa di awal aku sempat menolak, kukatakan bahwa menjadi seorang pemimpin memerlukan beberapa syarat menurutku. Etika yang bisa dicontoh, sudah memiliki pasangan (ini pendapat pribadiku, mengingat ada beban baru yang butuh kubagi dengan seseorang), serta mewujudkan berbagai ekspektasi. Yah, ekspektasi. Jangan mengatakan bahwa manusia tidak boleh berekspektasi terlalu tinggi, itu berlaku bagi makhluk yang bisa kita kendalikan. Siapa? Tentu saja diri sendiri. Sedangkan orang lain? Mana bisa kita mengatur harapan orang-orang. Di setiap amanah yang kau emban, ada ekspektasi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Yayasan, pimpinan, bahkan teman-teman guru dan siswa yang nantinya akan banyak berinteraksi.
Mampukah seorang aku mewujudkan berbagai harapan mereka? Mampukan aku masih memiliki waktu menjadi aku yang seutuhnya ketika memegang amanah baru itu? Yakinlah, semakin tinggi suatu jabatan, semakin beragam ekspektasi yang muncul, dengan kata lain, semakin banyak waktu untuk hal-hal di luar diri. Semakin sedikit pembicaraan yang melibatkan antara aku dan aku. Bagaimana jika nanti Allah menakdirkanku menikah, memiliki anak? Apakah aku masih punya waktu untuk mereka?
Terus terang, berbagai pertanyaan itu yang kadang mengusik sedikit kepercayaan diriku. Tapi, seketika aku sadar saat tiba-tiba membuka Youtube dan menyaksikan seorang Sri Mulyani, ibu yang super sibuk, tetap bisa menjadi pahlawan di mata anak-anaknya. Aku menilik lagi ke mama, wanita terdekatku. Kesibukanku tak ada artinya dibandingkan berbagai kegiatannya. Mama aktif di mana-mana, tambahan lagi, mama lebih tua dari aku, energiku harusnya lebih besar. Dengan segala kekuatan itu, Bismillah aku siap Ya Allah...
Ketika nanti aku ada salah, khilaf, maka aku hanya manusia. Ketika nanti ada ekspektasi yang tak bisa kuwujudkan, maka aku hanya manusia dengan kemampuan terbatas.
Engkau yang memberikan amanah ini Ya Allah, maka berikan kekuatan untuk mengembannya...