Minggu, 24 April 2016

SULIT DAN MUDAH

Pagi ini diawali dengan aktivitas seperti biasa. Karena gak ada kuliah pagi, dan memang ada janji ketemu seseorang agak siangan, maka kupilih mencuci pakaian dan mengepel kamarku. Tak terasa sudah pukul 9 lewat, orang yang kuajak ketemuan rupanya sudah selesai kuliah, dari whatsapp yang masuk di hape. Akhirnya, saya siap-siap untuk menemui beliau. Beliau anak S1 Fisika, jadi kemarin saya melihat ada broadcast buku keren yang lagi diskon, pas sekali ada teman liqo yang mau wisuda, akhirnya sepakatlah kami sekelompok liqo itu untuk memberikan hadiah buku. Dan dari informasi seorang teman, saya ditakdirkan membeli buku sama adik ini.

Beliau lagi mengantri di bank, mau membayar SPP katanya, karena ini hari terakhir tunggakan SPP mesti dibayar. Kalau tidak, beliau tidak bisa ikut ujian. Ya Allah pelajaran berharga lagi, betapa harus mesti kudunya saya bersyukur, SPP Alhamdulillah dicover otomatis sama instansi pemberi beasiswa. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya beliau datang memberikan buku tersebut. Dari wajahnya terlihat kerendahan hati si pemilik. Ya Allah, “sekecil” ini dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri untuk biaya kuliahnya. Dia sih tidak mengatakan itu, tapi dari raut wajah dan peristiwa yang baru saja terjadi, membuatku mengambil kesimpulan itu.

Siang setelah dzuhur, kuliah Elektrodinamika masuk. Setelah bapak dosen menjelaskan beberapa materi, beliau akhirnya memberi kesempatan kepada kami untuk presentasi. Sebagai informasi, beliau memberikan tugas menerjemahkan sebuah buku, yang dibagi per bab per kelompok, lalu mempresentasikan hasilnya setiap pekan. Uniknya, kelompok yang maju tidak ditentukan sebelumnya, tetapi dilot. Dari 2 kelompok yang “beruntung” tadi, ternyata tidak ada yang siap. Bapak tentu saja kecewa, kami sudah diberi tugas tersebut satu bulan yang lalu, dan hasilnya masih ada kelompok yang belum siap. Pelajaran lagi, lakukan segala yang dipercayakan kepada kita dengan semaksimal mungkin. Lelah? Banyak tugas lain? Gak ada waktu? Yah mesti, karena kita memang mahasiswa, tugasnya belajar, kewajibannya latihan. Dan tidak ada pembenaran untuk tugas yang tak dikerjakan meski tugas yang lain rampung. Semuanya harus seimbang. Padahal dibandingkan dosen lain, penilaian bapak lebih mudah, wajarlah jika tugasnya agak berat. Mungkin hal inilah yang menyebabkan beberapa dari kami menganggapnya gampang yang akhirnya menggampang-gampangkan.

BUATMU YANG BARU MENGENAL DUNIA

Betapa syukur harus selalu tersebut
Atas anugerah Allah yang tiada henti
Karunia-Nya yang tak terbatas
Termasuk kehadiranmu, manusia baru yang kedatangannya sangat dinanti
Yang tiba-tiba membawa keceriaan di dua keluarga besar
Yang tawanya merupakan penawar lelah
Yang tangisnya adalah berkah
Pejuang baru yang Allah amanahkan
Sosok yang belum bertemu secara fisik, tapi betapa hati telah terpaut
Betapa rindu dan cinta tumbuh tanpa alasan
Betapa bahagia dan haru menguar jadi satu
Yakinlah nak, kekuatan terbesar kita adalah doa
Di sana kita bersua, mengurai pinta dalam kata
Agar harapan yang terlanjur tumbuh
Kelak mekar menjadi kenyataan
Karena fitrahmu bukan sekedar penghuni dunia
Tapi juga sebaik-baik perhiasan dunia
Aamiin

Dari amah tunggal yang sedang berjuang

AKHWAT TRIP TO SOLO

Perjalanan ke Solo menggunakan kereta api memakan waktu sekitar 1 jam. Dari Stasiun Tugu, kami “menumpang” Prambanan Ekspres ke kota Solo, Sabtu 23 Januari kemarin. Sayangnya, perjalanan kami diawali oleh peristiwa yang kurang enak, salah seorang teman yang juga akan berangkat, terlambat tiba di stasiun, hingga kami pun meninggalkannya. Jumlah yang awalnya 10 orang, akhirnya menjadi 9 orang. Pukul 9 lebih, kami tiba di Stasiun Balapan Solo, dan menunggu Al, salah seorang ukhti HIMMPAS yang akan menjemput kami. Pukul 10 kurang, kami dapat kejutan dari Al, ternyata dia menjemput kami bersama dengan kedua orang tuanya, 2 mobil, salah satunya dikendarai ayahnya dan lainnya dikemudikan bundanya. Masya Allah, betapa baiknya mereka sekeluarga, ya Allah berkahi keluarga mereka. Destinasi pertama adalah rumah Al, di sana kami dijamu makanan berat dan snack. Setelah makan dan berbincang sedikit, kami diantarkan ayahnya ke Pasar Klewer, pasar terkenal di kota Solo, pusat grosir dan eceran, dan ternyata bundanya memiliki salah satu kios di pasar tersebut, khusus menjual jaket. Kami dengan riangnya memilih dan memilah barang dagangan bunda Al, apalagi harganya yang sangat miring. Setelah “merusuh”, kami pamit menuju keraton, tetapi sebelumnya kami mampir sholat dzuhur di Mesjid Ageng Solo. Mesjid yang arsitektur keratonnya masih asli, ukirannya, bagian/ruangan per mesjid, masih memberikan suasana kerajaan tempo dahulu kala, meski kata Al ada beberapa bagian yang sudah dipugar untuk mengokohkan bangunannya. Airnya pun sangat segar, serasa ingin mandi.

Perjalanan dilanjutkan ke keraton, dengan membeli tiket masuk terlebih dahulu. Seperti kaum wanita pada umumnya, setiap momen dipotret, termasuk saat kami baru memasuki pintu masuk keraton. Berfoto di pendopo, di depan museum, di depan menara, dan di tempat-tempat strategis untuk diabadikan. Ada peraturan unik ketika memasuki area keraton, yang menggunakan sendal harus dilepas. Untungnya, definisi sendal di sini adalah yang tidak memiliki tali belakang, jadi meski terbuka di bagian depan, alas kakiku dihitung sepatu. Saat memasuki area keraton, aura kerajaan makin kental terasa. Saya sempat membayangkan posisi prajurit-prajurit berdasarkan wilayah kerjanya masing-masing di dalam keraton. Bagaimana halaman luas digunakan mereka untuk berlatih fisik, wajah senang warga saat menyaksikan pertunjukan seni keraton, saat mereka duduk membicarakan kepentingan kerajaan dan menerima tamu utusan kerajaan lain di pendopo, dan semua peristiwa khas film kolosal yang sering saya ikuti di TV dulu.

Di wilayah ini, ada 2 museum. Satu museum untuk penyebar Islam ke Nusantara, yaitu Wali Songo, lainnya adalah museum alat-alat berperang, alat-alat masak, kendaraan dan semua perlengkapan kerajaan. Saya sempat terpesona dengan tulisan di salah satu dinding museum “WILUJENGAN MERUPAKAN SELAMATAN YANG SUDAH MENTRADISI DI MASYARAKAT JAWA, DOA-DOANYA MEMAKAI LAFAL ISLAM TETAPI KELENGKAPANNYA MENGGUNAKAN SESAJI CARA JAWA [AKULTURASI/PERCAMPURAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA”. Dari tulisan tersebut tersirat bahwa saat pemerintahan Kasunanan Surakarta tersebut, Wali Songo menyebarkan agama Islam dengan mengadaptasi kebudayaan setempat , agar Islam mudah diterima, meski tradisi yang mengandung kesyirikan belum bisa dihapus maksimal. Di museum ini juga terdapat wayang, yang mungkin saja digunakan Wali Songo sebagai media syiar Islam. Di bagian lain, terdapat Al-Quran yang terjemahannya menggunakan bahasa Jawa. Karena keterbatasan waktu, kami belum sempat mengunjungi museum Wali Songo.

Kami kembali ke Pasar Klewer untuk belanja ole-ole pakaian, lalu melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir, Taman Balekambang. Di pintu masuk, tertulis sejarah taman ini dibangun. Konon, taman ini dibangun oleh Mangkunegoro VII pada 26 Oktober 1921, sebagai simbol cinta untuk kedua putri beliau. Itulah sebabnya, di awal pembangunannya, taman ini terbagi 2 wilayah, Partini Tuin (Taman Air Partini) dan Partinah Bosch (Hutan Kota Partinah). Kedua taman inilah yang dikenal dengan Taman Balekambang. Ada beberapa rusa dan angsa di sini. Terdapat pula danau buatan yang dilengkapi perahu dayung model bebek, naga dan rumah-rumahan. Setelah puas menjelajahi kota Solo dengan wisata dan belanjanya, kami kembali ke Jogja untuk melanjutkan aktivitas umum seorang mahasiswa.

WAHAI KETUA ORGANISASI, BAGAIMANA JIKA KAU MEMIMPIN SATU MANUSIA SAJA?

Beberapa waktu yang lalu, saya berbagi cerita dengan seorang teman, sebut saja Fulanah. Entah mengapa, pembicaraan kami terseret ke arah sensitif, lamaran. Jadi dia cerita, seorang petinggi di kampusnya dulu, sebut Fulan, menyatakan akan melakukan “silaturahmi kembali” dengannya setelah lama tidak bertemu, alias bertamu ke rumah Fulanah itu. Secara tersurat memang belum ada kata lamaran, hanya Fulan mengatakan bahwa dia mau mengenal Fulanah lebih dekat lagi, langsung di depan orang tuanya. Qadarallah, di hari-H ternyata bertabrakan dengan jadwal acara lain dari Fulanah, akhirnya dibuatlah kesepakatan mengenai waktu bertamunya Fulan, agar tidak ada acara yang dikorbankan. Tepat di waktu yang sudah disepakati, Fulan ternyata belum muncul. Hingga malam tiba, Fulan tetap tak kelihatan plus tanpa kabar apapun. Tentu saja ada pertanyaan besar dan kekecewaan dari Fulanah. Esoknya (kalau nda salah ingat), Fulanah mengirim BBM ke Fulan, menanyakan mengapa dia tidak datang, tapi jawaban apa yang didapatkan? Malah si Fulan menyalahkan Fulanah dan mengaku kecewa kepadanya. Lah, Fulanah jelas bingung, yang kecewa siapa, yang disalahkan siapa.

Dari sini, saya jadi berpikir, ternyata pengalaman seabrek di sebuah organisasi, bahkan memegang posisi tertinggi, tidak menjamin akhlaknya seperti apa. Wallahu’alam yang terjadi sebenarnya, tapi paling tidak kita bisa mengambil pelajaran berharga dari peristiwa ini. Bahwa memilih seseorang yang akan menemani kita menghabiskan usia tak bisa dengan hanya melihat secara fisik, misal prestasi dan pengalaman, meski bisa saja mendukung. Mungkin dia mampu memimpin banyak manusia dengan berbagai karakter, tetapi belum tentu mampu menangani seorang manusia yang berpredikat istri. Mungkin dia mampu mencetak prestasi di luar dan di dalam negeri, tapi menjadi sandaran bagi seorang istri dia tak mampu. Dan mungkin, dia bisa memberi banyak kalimat motivasi bagi yang lain, tapi menenangkan hati seorang istri tak sanggup dia lakukan. Saya tidak bermaksud menjudge perorang atau pergolongan, hanya saja sebagai bahan pertimbangan saja, termasuk saya yang masih silau dengan prestasi yang terlihat.


Di lain sisi, banyak juga pemimpin yang sukses di negara, sukses di keluarga, Rasulullah SAW. Sukses di prestasi, sukses memuliakan istri, BJ Habibie. Sukses sebagai motivator, sukses sebagai pelopor dalam rumah tangga, Mario Teguh. Kita hanya cukup meluruskan niat, memperbaiki diri, berdoa terutama, agar diberi kesiapan dalam memilih dan dipilih, hingga tak salah pilih, insya Allah. Dan Allah akan mempertemukan di perjalanan bagi orang-orang dengan tujuan yang sama.

SEKELUMIT CERITA DARI TRANSFORMASEAN

Malam itu, sekitar pukul 12 malam, rombongan dari UGM tiba di stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, setelah kurang lebih 8 jam yang lalu menempuh perjalanan darat dengan kereta api Bengawan dari Yogyakarta. Masih ada waktu 5 jam yang harus kami isi untuk menunggu KRL yang akan membawa kami ke UI, tempat dilaksanakannya Silaturahmi Nasional (Silatnas) Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) Universitas dan Forum Silaturahmi (FORSI) HIMMPAS Indonesia. Setelah melaksanakan shalat jamak Magrib-Isya dan makan, kami memutuskan untuk istrahat. Tak terasa jam dinding stasiun menunjukkan angka 5, yang berarti loket pembelian tiket KRL sudah dibuka, ketua rombongan kami pun mengantri. Pukul 5 lewat, KRL yang akan kami tumpangi tiba, kami para perempuan masuk ke gerbong khusus wanita.

Pukul 7 kurang, rombongan yang terdiri dari anak UGM, UNY, UNS, UNDIP dan UII tiba di stasiun UI. Kami pun diarahkan oleh panitia untuk menaiki biskun (bis kuning) yang akan mengantar ke asrama. Setelah mandi dan sarapan, kami menaiki biskun lagi ke tempat diadakannya rangkaian acara Silatnas hari ke-I. Acara dibuka oleh tilawah dan sambutan dari ketua panitia, ketua HIMMPAS UI dan Bagian Kemahasiswaan UI. Dilanjutkan dengan presentasi Call For Paper dari 2 pemenang, satu dari Bidang Sains dan Teknologi yang dimenangkan oleh Reza (UI) dan yang lainnya dari Bidang Sosial dan Humaniora, Ridwan Arifin (UGM). Reza mempresentasikan mengenai energi terbarukan yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia, yaitu energi dari panas bumi (Geothermal), mulai dari potensi Indonesia sendiri, proses hingga energi tersebut dapat digunakan, kelebihannya, serta dampaknya terhadap keadaan ekonomi negara. Sedangkan Ridwan menjelaskan dampak yang ditimbukan oleh ekonomi yang tidak merata dan penerapan good governance sebagai solusinya.

Setelah presentasi, kami pun mengikuti talkshow sebagai rangkaian acara berikutnya. Diisi oleh 3 pembicara dengan latar berbeda, yaitu dosen Akuntansi (mewakili Soshum), dosen Fisika (mewakili Sainstek) dan dosen ilmu kesehatan. Ketiganya menyampaikan bagaimana kondisi dan kesiapan bangsa dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai Desember tahun ini, tantangan dan peluang yang kita miliki. Dari segi Ilmu Kesehatan, narasumber mengatakan bahwa kemajuan ekonomi dipengaruhi oleh kesehatan seorang anak sejak lahir hingga tumbuh dan berkembang. Mulai dari berat badan saat lahir, asupan nutrisi, serta keadaan fisik dan psikisnya sangat berpengaruh bagi kecerdasannya kelak. Dari bidang Fisika, produktivitas dalam menulis jurnal bagi mahasiswa dan dosen sangat diperlukan. Indonesia sendiri, yang memiliki akademisi sekitar 40ribu orang, setiap tahunnya hanya mampu menerbitkan 6ribu jurnal. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia. Kesenjangan ekonomi antara Indonesia dan negara ASEAN lainnya salah satunya dipengaruhi oleh kurangnya publikasi penelitian yang dilakukan oleh kedua elemen tersebut. Dalam melakukan penelitian pun, kita harus jeli melihat produk seperti apa yang dibutuhkan oleh pasar, jangan sampai hanya membuang dana tanpa hasil yang berkelanjutan. Dari ranah ekonomi, keahlian dalam bidang masing-masing sangat diharapkan. Jangan sampai beberapa tahun ke depan, pekerja ahli dan posisi strategis diduduki oleh orang asing, karena sangat kurangnya SDM dari negeri sendiri. Dan SDM kita tersedot ke luar negeri untuk menjadi “asistennya asisten” rumah tangga.

Kegiatan hari ke-I ditutup oleh launching buku dari HIMMPAS UI dan tukar kado antar peserta. Rangkaian kegiatan dilanjutkan kembali di hari ke-2 di ruang berbeda, agendanya adalah Musyawarah Nasional (Munas) FORSI HIMMPAS, yang terdiri dari pembahasan tata tertib, laporan pertanggungjawaban serta penetapan tempat Silatnas untuk tahun depan dan pemilihan Puskornas FORSI HIMMPAS periode selanjutnya. Meski diwarnai oleh keributan kecil akibat banyaknya perbedaan pendapat, kegiatan Munas berjalan lancar. Acara ditutup oleh penyerahan award kepada HIMMPAS yang dinilai produktif dalam program kerja dan karya. Dari UGM sendiri mendapatkan 2 award. Terakhir, selamat kepada Keluarga Islam Pascasarjana (KIPAS) UNDIP yang berhasil menjadi ketua Puskornas dan Forum Mahasiswa Muslim Pascasarjana (FOMMPAS) UNS sebagai tuan rumah Silatnas tahun depan.

Salam ukhuwah dari HIMMPAS UGM

TRIP TO BALIKPAPAN

Alhamdulillah tadi pagi jam 8 waktu Jogja, saya sampai di bandara Adisucipto. Perjalanan pesawat dari Balikpapan memakan waktu sekitar 1,45 jam. Meski lelah sehabis perjalanan, saya sangat bahagia. Benar-benar perjalanan yang sangat mengasyikkan. Keliling ke rumah sodara di Balikpapan, memberikan kesan dan berbagai pelajaran berharga yang mungkin takkan kudapat jika tahun ini tidak lebaran Idul Adha di sana. Allah memang selalu punya momen, cara, orang dan tempat untuk mentarbiyah hamba-hamba-Nya. Iya, tahun ini saya putuskan untuk lebaran plus mengunjungi keluarga di sana. Lumayan liburnya ada 6 hari (meski Jumat ada kuliah pengganti sih, hehe jadinya bolos). Memang sengaja mudiknya bukan ke Bone, pertimbangan waktu dan suasana, pengen merasakan suasana lebaran di kota lain, dan pas sekali nenek di Balikpapan sudah sejak lama mengundang ke tempatnya.

Setiba di bandara sana, Selasa petang, om (suaminya tante) langsung menjemput. Meski awalnya cari-carian dulu, pada gak kenal muka soalnya. Malam itu nginap di tempat nenek, ibunya tante. Esoknya, sehabis sholat Asar sudah dijemput sama om lainnya buat buka puasa sekaligus nginap di tempatnya. Keren, buka puasanya pake udang gueedeee, kolestrol dilupakan dulu sementara, hehe. Alhamdulillah keluarga di sana pada baik-baik. Esoknya lebaran Idul Adha di tempat om. Setelah sholat ied dan makan-makan, tante yang kemarin silaturahmi ke tempat om. Saat rombongannya tante pulang, saya ikut. Kemudian, mampir di rumah tante lainnya lagi. Benar-benar menyambangi hampir semua keluarga di sana.

Hari Jumat sehabis sholat dzuhur, perjalanan dilanjutkan ke Tanjung, tempat sebelah, mesti menyeberangi laut menggunakan klotok atau spead race. Dan alangkah bahagianya, ternyata pengalaman tak kalah seru sudah menanti di sana. Rumah om terletak di pesisir pantai. Jadinya, pukul 6 pagi jalan-jalan ke pantai tersebut, serasa private island gitu, hehe. Yang ke sana cuma anak kecil yang angkut air. Sudah pada bosan kali yah liat pantai, hhmmm. Katanya, pas lebaran Idul Fitri pantai itu ramai pengunjung, hanya karena momennya Idul Adha, pengunjungnya tak terlalu ramai. Itupun datangnya pas hari H saja. Habis main, saya balik ke rumah dan ternyata sudah disediakan sarapan rawon sama tente. Alhamdulillah. Plus kelapa muda beberapa menit kemudian terhidang di depan televisi. Mantap benar.

Hari Sabtu itu, kami menyeberang kembali menuju kota Balikpapan. Pasalnya, hari Ahad pagi sudah harus balik Jogja. Subuh sebelum ke bandara, ada satu kalimat nenek yang masih terekam dan selalu terngiang, semoga bukan untuk membanggakan diri. Beliau bilang “Una kok sejak ada di sini gak pernah lepas jilbab, emang jilbab harus dipakai terus? Sampai-sampai sudah gak pernah liat kepalamu lagi”. Nek, nek rambut kali, bukan kepala, hehe. Saya cuma senyum sesimpul-simpulnya sambil mengatakan “Yah, bisa dibuka sih nek, kalau mau”. Ha, sungguh jawaban polos, speechless soalnya. Semoga bisa mengambil pelajaran dari berbagai rangkuman kejadian selama di Balikpapan, bagiku dan bagi keluargaku yang di sana. Akhirnya, pukul 6 pagi, saya tiba di bandara, diantar om yang jemput hari Selasa kemarin.

Di tengah-tengah ngantri buat check-in, tiba-tiba datang seorang ibu yang mengajak ngobrol. Saya juga tidak mengerti, mengapa yang dipilih saya, dan saya yakin ini rencana indah Allah selanjutnya. Ibu itu “menitipkan” mamanya yang sudah berumur hampir 80 tahun, mau ke Jogja juga tapi sendirian. Khawatirnya gimana-gimana di pesawat selama perjalanan. Akhirnya, saya menyanggupi. Simbah itu ternyata ke samarinda nengok anaknya yang sakit, domisili beliau memang di Jogja. Sudah ada ibu-ibu lain yang dititipi simbah, hanya ibunya mau ke Magelang, sedangkan simbah ke arah Jalan Kaliurang, Alhamdulillah searah denganku. Simbah malah menawarkan pulang bareng, soalnya beliau nanti dijemput mobil sama anaknya di bandara. Sesampai di bandara, ternyata penjemputnya mbah malah sudah menunggu, saya pun Alhamdulillah diajak ikut. Pertolongan Allah sungguh dekat. Simbah malah berkata’ “Nanti kalau liburan, jalan-jalan ke rumah mbah yah, nambah-nambah sodara”. Iya mbah, iya insya Allah. Alhamdulillah dipertemukan lagi dengan keluarga yang baik. Dan berbagai rentetan kejadian yang kualami, dari semenjak menuju Balikpapan hingga tiba di Jogja kembali, adalah pelajaran berharga yang patut kusyukuri, hal yang tak mungkin kucapai dan kujalani jika Allah tak berkehendak.

JURNAL 11 BULAN CAWA

Bismillahirrahmanirrahim Sabtu, 31 Agustus 24: Sekitar pukul setengah 9 malam, Cawa tidur setelah meminum susu dari botol susunya. Tapi, sek...