Perjalanan ke Solo
menggunakan kereta api memakan waktu sekitar 1 jam. Dari Stasiun Tugu, kami
“menumpang” Prambanan Ekspres ke kota Solo, Sabtu 23 Januari kemarin.
Sayangnya, perjalanan kami diawali oleh peristiwa yang kurang enak, salah
seorang teman yang juga akan berangkat, terlambat tiba di stasiun, hingga kami
pun meninggalkannya. Jumlah yang awalnya 10 orang, akhirnya menjadi 9 orang.
Pukul 9 lebih, kami tiba di Stasiun Balapan Solo, dan menunggu Al, salah
seorang ukhti HIMMPAS yang akan menjemput kami. Pukul 10 kurang, kami dapat
kejutan dari Al, ternyata dia menjemput kami bersama dengan kedua orang tuanya,
2 mobil, salah satunya dikendarai ayahnya dan lainnya dikemudikan bundanya.
Masya Allah, betapa baiknya mereka sekeluarga, ya Allah berkahi keluarga
mereka. Destinasi pertama adalah rumah Al, di sana kami dijamu makanan berat
dan snack. Setelah makan dan
berbincang sedikit, kami diantarkan ayahnya ke Pasar Klewer, pasar terkenal di
kota Solo, pusat grosir dan eceran, dan ternyata bundanya memiliki salah satu
kios di pasar tersebut, khusus menjual jaket. Kami dengan riangnya memilih dan
memilah barang dagangan bunda Al, apalagi harganya yang sangat miring. Setelah
“merusuh”, kami pamit menuju keraton, tetapi sebelumnya kami mampir sholat
dzuhur di Mesjid Ageng Solo. Mesjid yang arsitektur keratonnya masih asli,
ukirannya, bagian/ruangan per mesjid, masih memberikan suasana kerajaan tempo
dahulu kala, meski kata Al ada beberapa bagian yang sudah dipugar untuk
mengokohkan bangunannya. Airnya pun sangat segar, serasa ingin mandi.
Perjalanan dilanjutkan ke
keraton, dengan membeli tiket masuk terlebih dahulu. Seperti kaum wanita pada
umumnya, setiap momen dipotret, termasuk saat kami baru memasuki pintu masuk
keraton. Berfoto di pendopo, di depan museum, di depan menara, dan di
tempat-tempat strategis untuk diabadikan. Ada peraturan unik ketika memasuki
area keraton, yang menggunakan sendal harus dilepas. Untungnya, definisi sendal
di sini adalah yang tidak memiliki tali belakang, jadi meski terbuka di bagian
depan, alas kakiku dihitung sepatu. Saat memasuki area keraton, aura kerajaan
makin kental terasa. Saya sempat membayangkan posisi prajurit-prajurit
berdasarkan wilayah kerjanya masing-masing di dalam keraton. Bagaimana halaman
luas digunakan mereka untuk berlatih fisik, wajah senang warga saat menyaksikan
pertunjukan seni keraton, saat mereka duduk membicarakan kepentingan kerajaan
dan menerima tamu utusan kerajaan lain di pendopo, dan semua peristiwa khas
film kolosal yang sering saya ikuti di TV dulu.
Di wilayah ini, ada 2
museum. Satu museum untuk penyebar Islam ke Nusantara, yaitu Wali Songo,
lainnya adalah museum alat-alat berperang, alat-alat masak, kendaraan dan semua
perlengkapan kerajaan. Saya sempat terpesona dengan tulisan di salah satu dinding
museum “WILUJENGAN MERUPAKAN SELAMATAN YANG SUDAH MENTRADISI DI MASYARAKAT
JAWA, DOA-DOANYA MEMAKAI LAFAL ISLAM TETAPI KELENGKAPANNYA MENGGUNAKAN SESAJI
CARA JAWA [AKULTURASI/PERCAMPURAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA”. Dari tulisan tersebut
tersirat bahwa saat pemerintahan Kasunanan Surakarta tersebut, Wali Songo
menyebarkan agama Islam dengan mengadaptasi kebudayaan setempat , agar Islam
mudah diterima, meski tradisi yang mengandung kesyirikan belum bisa dihapus
maksimal. Di museum ini juga terdapat wayang, yang mungkin saja digunakan Wali
Songo sebagai media syiar Islam. Di bagian lain, terdapat Al-Quran yang
terjemahannya menggunakan bahasa Jawa. Karena keterbatasan waktu, kami belum
sempat mengunjungi museum Wali Songo.
Kami kembali ke Pasar
Klewer untuk belanja ole-ole pakaian, lalu melanjutkan perjalanan ke destinasi
terakhir, Taman Balekambang. Di pintu masuk, tertulis sejarah taman ini
dibangun. Konon, taman ini dibangun oleh Mangkunegoro VII pada 26 Oktober 1921,
sebagai simbol cinta untuk kedua putri beliau. Itulah sebabnya, di awal
pembangunannya, taman ini terbagi 2 wilayah, Partini Tuin (Taman Air Partini) dan Partinah Bosch (Hutan Kota Partinah). Kedua taman inilah yang
dikenal dengan Taman Balekambang. Ada beberapa rusa dan angsa di sini. Terdapat
pula danau buatan yang dilengkapi perahu dayung model bebek, naga dan rumah-rumahan.
Setelah puas menjelajahi kota Solo dengan wisata dan belanjanya, kami kembali
ke Jogja untuk melanjutkan aktivitas umum seorang mahasiswa.