Senin, 08 September 2014

DISKRIMINASI, MASIHKAH DIBUTUHKAN?

10072014

Bapakku lagi ikut pelatihan, tapi karena beliau sakit saya ikut mendampingi. Kebetulan lagi bulan Ramadhan, jadi makannya cuma 2 waktu, sahur dan berbuka. Sebagai pendamping, saya juga ikut menikmati konsumsi dari dapur untuk peserta. Meskipun agak kurang enak juga, karena semua peserta membayar rata dan saya menikmati makanan yang sama dengan mereka, harusnya kan bayar double  yah atau makan di luar. Tapi karena peserta sendiri yang meminta saya untuk makan bersama mereka, saya pun ikut. Lagian juga saya paling 2 malam di sini, dari total 4 malam kegiatan. Karena di sini tak seperti di hotel yang selalu dihitung per kepala per keadaan.

Bukannya mau menjelek-jelekkan atau tidak bersyukur, tapi menurut saya peserta harusnya mendapatkan nutrisi yang cukup untuk kegiatan pelatihan mereka, apalagi di bulan puasa seperti ini dan mereka bayar pula. Menu yang diberikan paling tidak memenuhi standard 4 sehat dong yah. Menu saat buka puasa sih standard, masih bisa diterima akal sehat, perut lapar, dan hati nurani. Tapi, saat sahur itu lo. Hampir semua peserta mengeluh. Bagaimana tidak, menunya nasi, sayur sop, dan semacam pepes ikan, tapi tanpa daun dan warnanya hijau tua pula. Nggak good looking banget dah. Sementara, di meja lainnya (meja panitia), tersedia lauk yang lumayan “pantas”. Pertanyaannya, mengapa ada perbedaan menu antara panitia dan peserta? Apa karena kerja mereka lebih banyak? Entahlah, padahal mereka sama-sama manusia, kebutuhan akan makanan juga sama. Bukan hanya di tempat ini sih sering terjadi hal begini, tetapi di tempat lain, cerita-cerita serupa juga kadang mampir di telinga. Sekali lagi, saya tidak punya hak untuk protes atau apalah, tetapi sebagai manusia saya berhak mengemukakan apa yang saya rasakan. Untuk membangun bangsa, segalanya harus dimulai dari hal kecil, dari diri sendiri, dan dari sekarang (Aa Gym’s quote).

ILMU GOMBAL, EMANG ADA?

Pasti banyak yang bengkok pikirannya nih saat membaca judul postingan yang satu ini. Tapi, ini bukan kesalahan sama sekali, bukan akibat dari typo atau kesalahan pada mata anda. Ini karena judulnya memang seperti itu, dan maksudnya? Yah lanjut aja cin baca yah.

Gombal. Sebuah kata yang sudah tidak asing di telinga kita, apalagi anak muda kayak anda-anda ini. Sebuah kata yang menginterpretasikan kualitas seseorang. Emang iya? Menurutku iya, makanya judul postingan ini ilmu gombal. Bukan berarti mesti belajar gombal atau semua kalimat manis tak terbukti, tapi ini lebih kepada kemampuan kita menempatkan kata ini di waktu dan tempat yang tepat. Kepada siapa? Untuk siapa? Kapan? Dan seabrek pertanyaan lainnya yang bisa membuat satu kata ini memiliki banyak arti.

Pertanyaan selanjutnya dari mana saya mendapatkan inspirasi untuk membahas kata yang agak dihindari anak muda yang pernah mengalami patah hati ini? Ceritanya tadi pagi, saat asik-asiknya nonton TV, si Nana teman kost ku yang dulu nelepon dan curhat tentang kehidupannya di Pare Kediri. Setelah membahas sana-sini masalah Bahasa Inggris dan kursusnya di sana, pembicaraan pun beralih ke masalah anak muda yang takkan habis dibahas di satu masa. CINTA. Sekedar info nih, Nana adalah salah seorang pasien cinta yang kutangani saat patah hati dan berhasil (semoga) membuatnya menafikan kata “pacaran” di hidupnya. Pasien yang sama-sama saling menguatkan dengan dokternya, karena di saat yang hampir bersamaan, kami mengalami hal yang sama.

Dia cerita tentang seorang lelaki yang kini mendekatinya dan mengatakan bahwa tidak ada sedikitpun getaran yang timbul dari seringnya pembicaraan mereka di telepon. Sebenarnya kasusku saat ini lumayan sama dengannya, tapi aku tak curhat dahulu kepadanya. Selama masih bisa kuatasi, insya Allah akan kuatasi sendiri. Back to main topic. Aku pun geli dibuatnya karena dia cerita seolah-olah si lelaki ini amat sangat “bodoh” dalam mendekati wanita. Di sisi lain, aku lega, ternyata apa yang sama-sama kami tanamkan ketika masih di Makassar tumbuh sempurna, prinsip untuk tidak pacaran, insya Allah akan terus terjaga sampai Allah menunjukkan takdirnya akan siapa sosok lelaki yang akan menjadi pendamping kami masing-masing. Kata si Nana, lelaki itu tak punya ilmu “gombal”. Ilmu yang mesti dimiliki oleh lelaki manapun untuk menaklukkan hati wanita. Sederhananya aku menyebutnya “sense of gombal” haha.

Maksud kami berdua tentang “sense of gombal” bukan berarti saat mendekati seorang wanita, seorang lelaki harus menggombal, mengeluarkan semua kemampuannya dalam merangkai kata hingga menjadi puisi agar si wanita terkesan. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah kemampuan seorang lelaki untuk menggunakan kemampuannya mendekati seorang wanita dengan cara yang wanita suka. Dan itu butuh ilmu, bukan dengan terus memberi perhatian berlebihan, komunikasi yang intens dan sebagainya. Bukan masalah kuantitas, tapi kualitas. Seorang lelaki harus tahu kapan mesti memberi perhatian dan kapan mesti menggunakan senjata “cool” nya. Sayangnya, tidak semua mengetahui dan tidak mau tahu ilmu tersebut. Karena itu, banyak wanita yang menyukai lelaki yang sama. Banyak wanita yang susah meninggalkan seorang lelaki. Saat ditanya orang lain, mengapa saya susah move on? Karena hanya si “mantan” itu yang memiliki ilmu tersebut, kalaupun ada orang lain yang memilikinya, mungkin bukan orang-orang yang selama ini mendekati kita setelah putus, entahlah. Apalagi jika seorang lelaki memaksakan kehendaknya padahal dia sudah tahu apa yang diinginkan wanita ini, makin minuslah dia. Maka, sebelum mendekati seorang wanita, pelajari caranya. Mendekati bukan berarti memaksanya langsung menyukai kita juga kan. Mendekati bukan berarti membuat kita harus menghilangkan respect kita kan. Kuncinya satu, buat dia penasaran. Caranya? Belajar dong. Katanya calon pemimpin rumah tangga. Ada yang belum ngerti? Yah, masalah masing-masing sih soalnya hal ini sebenarnya memang susah dijelaskan, apalagi bagi orang yang dari awal tidak sepaham.

TERIMA KASIH CINTA TULUSMU

Bahkan melihatku senyum pun kau sudah bahagia. Perasaan yang entah tumbuh karena apa, mungkin kebiasaan, mungkin kesempatan. Iya, kau mengenalku dan (tentu saja) aku mengenalmu saat 2 SMP. Kita akrab, saling berbagi cerita, bahkan tak jarang kau membuatku kesal hingga tercipta pertengkaran-pertengkaran kecil. Tapi justru itu yang membuat kita dekat, dekat sebagai saudara, dekat sebagai sahabat. Hingga tak terasa bangku SMA pun kita duduki. Masa putih abu-abu yang membuat hidupku demikian berwarna. Kita tetap saling bertegur sapa, tapi tak seakrab dulu lagi. Kau punya teman sendiri, aku pun begitu. Dan apapun tentangmu tak ada yang istimewa, hingga kita menginjak kelas 3 SMA. Entah mengapa ada gelagat aneh yang kutangkap darimu. Persahabatan yang dulu membuat kita dekat kini berlanjut kembali. Tapi, ada rona lain yang kutangkap dari wajahmu ketika kau memandangku, ada rasa yang tak sekedar sahabat. Dugaanku benar. Suatu hari, dengan hati-hati kau mengetuk apa yang kututup selama ini. Meski tak sepenuhnya tertutup. Sebagai manusia dan wanita normal, ada rasa yang tersimpan rapi di sudut sana, tapi sayang bukan untukmu, bukan kau lelaki itu.

Tapi kau tak pernah menyerah, kau mendekatiku dengan caramu. Dengan hal tulus yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kau yang mengajarkan dan membuka mataku bahwa ternyata masih ada cinta yang sifatnya hanya memberi, tanpa sedikitpun kau memaksaku membalasnya. Hari itu, pagi kesekian di sekolah kita, kutemukan sebuah buku di atas mejaku. Mungkin tercecer, pikirku. Tapi otak manusiawiku jalan, aku pun membuka buku itu. Itu ternyata bukumu. Ada sehalaman puisi di sana. Indah dan dalam. Ungkapan perasaan yang selalu kau sembunyikan dan hanya berani mengatakannya pada lembaran kertas. Beberapa hari kemudian kau mengaku, buku itu sengaja kau tinggal dan puisi itu untukku. Meski sudah menduga dari awal, tak pelak aku pun kaget. Tiba-tiba, aku benci padamu. Benci yang timbul karena ketidakmampuanku membalas rasamu, benci karena kau tega mengubah persahabatan kita menjadi hubungan sekaku ini, benci karena aku tahu ada rasa itu untukku, orang yang memiliki rasa yang sama, tapi untuk orang lain. Sejak saat itu aku menghindarimu, meski itu kulakukan tanpa sengaja. Entah kebetulan atau apa, kita satu kelompok dalam salah satu tugas akhir sekolah.

Kau berusaha menampilkan yang terbaik yang kau punya. Kenapa, kenapa kau berubah? Kenapa mesti aku wanita itu? Kau tak seperti dulu lagi, kau selalu membuatku merasa bahwa kau lebih baik dari yang lain untukku. Tapi sayang, itu tak mengubah sedikit pun rasaku. Meski kuakui, kau cerdas. Kau mendekatiku dengan halus, tulus, tanpa ada kata-kata langsung. Kau mengaplikasikan dalam karya terbaik kelompok kita, karya terakhir yang kau persembahkan untukku, katamu saat kejadian itu sudah jauh di belakang. Ah, tapi tentu saja perasaanku tak mudah berubah. Aku tetap menganggapmu sahabat, tak lebih.

Apalagi yang harus kulakukan agar kau kembali ke perasaanmu yang dulu? Sungguh, aku tak suka rasa itu ada untukku dari orang baik sepertimu. Aku tak mampu mengecewakanmu. Aku pun pelan-pelan berusaha membuatmu benci padaku. Itu memang berhasil, kita sempat perang dingin, diam-diaman. Tapi itu hanya sementara. Karena kedewasaanmu, kita baikan kembali. Katamu apapun yang kulakukan, takkan membuatmu membenciku, lagi-lagi kau mengatakannya beberapa tahun setelah kejadian itu berlalu. Sebagai lelaki normal, kau pasti ingin mengetahui rasaku untukmu, dari mulutku sendiri. Hingga suatu hari, kau mengungkapkannya. Aku menangis, menangis karena terpaksa menyakitimu, mengatakan bahwa kau ada di pikiranku, tapi tidak di hatiku. Kau sahabatku, tak lebih. Rasaku buatmu sebatas itu.

Meski kecewa, kau tetap tersenyum untukku. Berdoa yang terbaik untukku. Merelakanku untuk siapapun yang bisa membuatku bahagia. Tapi ada satu hal yang tak kutahu saat itu, ternyata kau nyaris frustasi. Rokok, barang tak pernah kau sentuh sebelumnya dalam beberapa jam ludes sebungkus. Hingga tenggorokan dan mulutmu pahit. Tapi kau sempat berterima kasih padaku, kau tak mau mengenal rokok lagi setelah itu. Kapok katamu, haha.

Sampai saat ini kau tetap berusaha menyadarkanku arti dirimu buatku. Dan sampai saat ini pula, rasaku masih sama. Tenang sobat, jika aku memang rumah yang ditakdirkan sebagai tempat kembalimu, maka aku takkan kemana-mana dan tak ada yang dapat memasukinya selain kamu, karena kamu yang memegang kuncinya. Tapi jika bukan, maka akan ada rumah terbaik dari Allah untukmu, dan ada penghuni terbaik untukku. Just believe it. Satu kata-katamu yang selalu kuingat “Jangan salah pilih Una, karena jika kamu bersedih, kamu tak pernah sadar bahwa aku yang menangis dalam diam, menangisi ketidakmampuanku membuatmu menyayangiku.

Tulisan ini untukmu sahabatku, salah seorang guru kehidupan terbaik yang dikirimkan Allah untukku, yang sekarang lagi berjuang di pulau lain, 2 jam lebih cepat dari tempatku kini. Terima kasih, kau mengajarkan arti ketulusan sekaligus arti menyayangi. Terima kasih membuatku merasa berarti karena cintamu, menjadikanku orang pertama yang kau mintai pendapat jika ingin melakukan sesuatu, yang sampai saat ini hanya bisa kubalas dengan menyayangimu sebagai sahabatku. Doaku semoga kau selalu bahagia, baik-baik di sana, jangan pernah melupakan hakikat kita sebagai makhluk-Nya.

RINDU

Pernah tidak merindukan seseorang, begitu merindukannya sampai kadang terbawa mimpi bertemu? Pernah tidak memutuskan untuk hanya menikmati rindu tanpa sedikitpun berniat menyampaikannya ke si objek? Pernah tidak memikirkan wajah seseorang, tawanya, tingkahnya, dan semua hal yang ada pada dirinya sampai tak terasa ada genangan air yang menggenang di pelupuk mata? Pernah tidak menuangkannya dalam sebuah tulisan mengenai kombinasi semua rasa itu? Jika pernah, kita sama sobat.

Sekarang aku lagi merasakan semua kombinasi rasa itu dan menuangkannya lewat untaian kalimat ini. Iya, aku merindukannya, lagi dan lagi. Tapi, tak ada ruang untuk menyampaikannya dan memang, tak ada niat untuk mencari ruang itu. Aku percaya janji Tuhanku, janji yang pasti akan ditepati-Nya, janji yang tertuang mutlak dalam kitab-Nya, pun dititipkan melalui sabda Rasul-Nya, janji yang akan menjadi hadiah indah bagi orang yang sabar dan percaya, janji yang akan datang di waktu yang tepat. Karena tak ada hubungan halal, sebelum direstui oleh-Nya melalui ikatan yang diikrarkan karena-Nya dan disahkan negara. Semoga konsentrasi kita semata-mata untuk ibadah, penyempurna separuh agama, bukan hanya seremonial dunia. Ibadah yang akan kekal hingga hari akhir-Nya. Masih banyak hal yang mesti kita perbaiki, terus mendekatkan diri kepada-Nya. Mempersiapkan banyak hal untuk ibadah terlama.

Terakhir, aku kutip kirimanku di Radio Venus FM yang sempat dibacakan penyiarnya,
Dear diary, aku tahu rindu ini belum saatnya, rasa ini belum waktunya. Untuk itu, biarkan angin dan malam melalui lantunan doa yang menjadi saksi ungkapan hati yang tak mungkin kukatakan sekarang. Aku hanya berharap kamu selalu dalam lindungan-Nya. Aku tahu, aku hanya berhak merindukanmu tanpa kamu berkewajiban membalasnya.”

MENCOBA MOVE ON

Tidak terasa sudah 3 mingguan di Jogja. Dan minggu depan, perkuliahan insya Allah sudah dimulai. Dan sekarang, masa transisi yang dulu pernah menghantui, kini datang kembali. Apa yang pernah kualami di Makassar, kejadian dan orang-orangnya sungguh membuatku susah move on. Tapi yah itu, di sisi lain aku sadar bahwa ada saat di mana kita harus meninggalkan step hidup yang kemarin untuk mencapai tujuan hidup selanjutnya. Sekarang lagi mencoba mengakrabkan diri dengan mata kuliah, teman-teman dan lingkungan baru. Bukan berarti pula komunikasi dan hubungan dengan teman-teman lama terputus begitu saja. Mungkin ini hanya masalah kuantitas. Ada orang baru dan kesibukan baru yang mesti dihadapi dan dijalani. Demi mimpi-mimpi dan harapan yang selalu menjadi suguhan utama kami kala berbagi cerita di malam-malam kebersamaan.


Akhir-akhir ini, aku sering mimpi aneh pula. Sering hadir sesosok lelaki yang entah sejak kapan rajin menyambangiku lewat mimpi. Apa itu perasaanku saja atau jawaban Allah atas penantianku selama ini? Entah. Tetapi, aku tak dapat melihat dengan jelas siapa lelaki itu. Saat bangun pun, hanya 3 nama yang sering muncul di pikiranku, karena untuk saat ini hanya 3 nama itu yang sering berebut tempat di sana. Ini pula salah satu hal yang mesti membuatku move on. 2 lelaki yang pernah hadir di hari dan hatiku, yang sampai saat ini masih sering mengganggu meski gak berlebihan. Dan 1 lelaki yang baru saja kukenal, tapi mampu menjadikannya salah satu manusia yang patut kukagumi. Ya Allah, bimbing hati hamba untuk tak condong ke siapapun sebelum akad, sebelum Engkau ketuk palu siapa yang akan mendampingiku membangun surga dunia dan bersama dalam ketaatan kepada-Mu, partnerku dalam beribadah, melahirkan anak-anak yang sholeh dan sholehah serta menegakkan kalimat lailahaillallah di bumi-Mu tercinta, Aamiin.

MODERNISASI

Pernah tidak berpikir, apa yang kita nikmati sekarang merupakan simbol kemajuan atau justru kemunduran? Oke, aku persempit bahasannya. Mengenai teknologi. Sebelum lebih jauh, aku harus jujur bahwa aku bukanlah penentang teknologi. Bahkan kuliahku ujung-ujungnya untuk memajukan peradaban bangsa melalui teknologi. Terlepas dari itu semua, tulisan ini hanya menggambarkan opini yang tiba-tiba muncul (mungkin sudah lama tersembunyi), tanpa bermaksud memberikan penilaian langsung terhadap objek permasalahan. Aku selalu suka begitu, pertimbangan jauh lebih penting menurutku.

Oke, kita mulai dengan meninjau teknologi di masa lampau. Dulu, duluuuu banget, manusia hidup, bertahan dan bersahabat dengan alam. Segala kebutuhan hidup disediakan oleh alam. Mulai alat dari kulit kayu, batu yang dijadikan sumber api, kulit binatang sebagai pakaian, makanan berasal dari cadangan makanan tumbuhan hutan, dll. Sebenarnya tak ada bedanya dengan masa sekarang, segala kebutuhan kita dipenuhi oleh alam. Bedanya, mereka yang kita sebut kaum primitif, mengambil haknya secara tak berlebihan, tanpa merusak dan tetap “menyambung silaturahmi” dengan alam. Sedangkan zaman sekarang, makhluk modern, di saat teknologi dan peradaban menanjak popularitasnya, justru berbanding lurus dengan keserakahan dan naluri merusak (salah satu sifat manusia yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an) manusia. Keseimbangan alam dan cadangan untuk anak cucu kelak tak diperhatikan lagi. Padahal, peradaban modern hampir memenuhi semua kebutuhan manusia. Kemajuan di berbagai bidang, termasuk substitusi tenaga manusia ke mesin yang otomatis meringankan pekerjaan manusia, membuat benda yang sebelumnya tidak mungkin, dan berbagai keuntungan lainnya.

Zaman dahulu, metamorfosis penerangan yang awalnya menggunakan obor, berlanjut ke lampu minyak, petromaks, hingga listrik ditemukan dan membuat terang seluruh dunia. Sumbernya pun awalnya hanya generator listrik yang dibantu putaran kincir yang digerakkan oleh air terjun, uap yang didapatkan dari hasil pemanasan, angin, sumber energi dari matahari, tenaga nuklir, dll. Di bidang transportasi, awalnya perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya ditempuh dengan jalan kaki, paling mewah dengan berkuda dan bersepeda, hingga mesin ditemukan, yang menjadi cikal-bakal hadirnya motor, mobil, pesawat, dll. Dalam hal kecantikan, bedak yang berasal dari bubuk beras adalah kosmetik alami yang sangat bermanfaat untuk kulit. Tak puas sampai di situ, berbagai racikan alami hingga menggunakan tambahan bahan kimia diproses untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kecantikan. Disadari ataupun tidak, semua transformasi itu dipengaruhi oleh teknologi. Anugerah kecerdasan dari-Nya. Jarak dan waktu semakin menyusut, mungkin mendekati kecepatan cahaya, hehe.

Terlepas dari berbagai fasilitas yang menguntungkan manusia, banyak hal yang menjadi pertanyaan. Salah satunya, apakah benar zaman sekarang lebih maju dari zaman dahulu? Secara fisik, mungkin. Lihat saja, pekerjaan manusia menjadi lebih mudah dan efisien dengan adanya berbagai penemuan para ilmuwan. Tapi secara tersirat, alangkah bijaknya jika kita tinjau dari berbagai sudut. Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, menipisnya ozon, polusi di mana-mana, daerah serapan air yang semakin berkurang, akhir-akhir ini menjadi wacana serius bagi kelangsungan kehidupan damai kita di bumi. Akibatnya, muncul jenis penyakit baru, bencana alam di mana-mana, sampai merambah ke moral yang semakin merosot, di tengah tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Hal yang jarang bahkan hampir tidak pernah dialami oleh manusia zaman dahulu. Itu disebabkan oleh apa? Ketamakan, kurang bersyukur dan selalu ingin lebih dan lebih dibanding orang lain. Padahal tingkat kebutuhan kita tak setinggi itu. Keinginanlah yang membuat kurvanya meningkat. Prestise, egois dan rakus. Tiga penyakit yang akhir-akhir ini menjangkiti sebagian kita, bahkan sampai menular. Ujung-ujungnya, alam menjadi sasaran empuk. Eksploitasi besar-besaran tak sebanding dengan tingkat pengamanan dan reboisasi. Dan akibatnya pun kembali ke manusia.

Sekali lagi, aku tak menyalahkan teknologi. Kitalah aktornya, kita yang mengarahkan ke mana teknologi tersebut bermuara, untuk kepentingan bersamakah atau hanya sebagai pemuas nafsu pribadi? Mengambil manfaat dari alam tak apa, tapi dampak ke depannya juga harus diperhatikan. Alam tidak akan pernah rusak jika kita bijak. Bagaimana mengelola semuanya di titik keseimbangannya. Itu semua untuk kita sendiri, untuk warisan kelak kepada anak-cucu kita.

CURAHAN HATI SANG CALON FISIKAWAN

Hai teman, lagi apa kalian? Kalo aku sedang menulis, ingin menumpahkan sedikit kerisauanku malam ini. Oh iya, tak apa yah jika malam ini aku ingin mengganggu sedikit? Bertanya tentang hal yang tak kutahu jawabannya? Pertanyaan pertama, kalian tahu atah kenal Fisika? Iya, itu dia. Salah satu mata pelajaran wajib dari SMP sampai kuliah (untuk eksak) yang jadi syarat kelulusan. Saya yakin kalian pasti kenal, eh tidak, mungkin tahu lebih tepatnya. Dan mungkin juga ada di antara kalian yang pura-pura tidak kenal dia, berpaling, berlari, meringis, bergidik ngeri, terjatuh dan tak bisa bangkit lagi saat mendengar namanya. Iya, aku maklum. Sebagian besar dari kita, memang tak menyukainya. Bahkan sering mengeluh karenanya. Barisan angka tidak jelas, rumus yang mengalami penurunan berulangkali, benda yang ditinjau yang itu-itu saja, membosankan. Mana gurunya bikin ngantuk, nyaris ngomong sendiri saat mengajar, tatapannya yang tajam saat memberi tugas mengerjakan soal di papan tulis, dan berubah jadi monster saat memberi tambahan PR. Uhhh, dunia serasa tak berwarna karenanya.

Tapi, ada satu hal yang mungkin tidak kalian tahu, atau tak mau tahu. Tapi mumpung malam ini kalian mau mendengarkanku, baiklah akan kutuntaskan cerita ini. Yang kumaksud adalah kalian tak tahu kan kenapa masih ada orang sepertiku misalnya yang masih tertarik mendalami ilmu ini? Ilmu yang saking umumnya, sering menimbulkan pertanyaan orang “Mau jadi apa nanti kalo lulus?”. Tentu saja kami punya alasan. Bukan karena kami sudah menguasai semua rentetan rumus yang sekilas tak berarti itu hingga mau menyaingi Newton, Einstein hingga Scrodinger, bukan pula karena kami tidak punya pilihan jurusan lain, pun bukan kurang kerjaan sampai-sampai mau mengerjakan hal yang menurut kalian sia-sia. Kami sama dengan kalian, kami juga awalnya tak menyukainya. Tapi berbekal pengetahuan yang didapat dari berbagai literatur dan pengalaman, kami memutuskan menjalani ini. Karena kami sadar, berbagai bidang ilmu yang kalian tekuni sekarang sangat berhubungan dengan Fisika. Rumus, persamaan, bidang kajian dan objek yang itu-itu saja tak kalian sadari telah melahirkan banyak kontribusi di berbagai lini kehidupan. Kemajuan teknologi yang kalian rasakan, adalah buah yang ditanam para pendahulu kami. Tapi kalian hanya ingin tahu buahnya kan. Tanpa ingin mengetahui akarnya serabut atau tunggang. Kalian tahu udara? Yah, kami layaknya dia. Tak terlihat dan kadang tak dianggap, tapi ada di sekitar kita, dirasakan dan tak ada kehidupan tanpanya. Kontribusi nyata kami? Kontribusi nyatanya udara apa? Yah, itu jawabannya. Bukannya kami ingin sombong dan merasa hebat, kami hanya ingin belajar banyak. Mempelajari hakikat alam dan mendekatkan kami kepada pencipta kita, melalui ilmu kami. Bukankah itu tujuan kita diciptakan di bumi ini?


Kami tidak peduli apapun penilaian kalian tentang kami. Kami hanya minta, biarkan kami tenang mendalami apa yang sudah dirintis pendahulu kami, tanpa ada pandangan dan pertanyaan sinis lagi untuk kami. Lebih bijaknya lagi jika kita bisa bekerjasama menggabungkan ilmu kita, karena segala sesuatu dibangun oleh banyak unsur untuk sama-sama menjadi makhluk yang memberi manfaat bagi diri dan sesama, menjadi sebaik-baiknya manusia.

JURNAL 11 BULAN CAWA

Bismillahirrahmanirrahim Sabtu, 31 Agustus 24: Sekitar pukul setengah 9 malam, Cawa tidur setelah meminum susu dari botol susunya. Tapi, sek...