Bahkan melihatku senyum
pun kau sudah bahagia. Perasaan yang entah tumbuh karena apa, mungkin
kebiasaan, mungkin kesempatan. Iya, kau mengenalku dan (tentu saja) aku
mengenalmu saat 2 SMP. Kita akrab, saling berbagi cerita, bahkan tak jarang kau
membuatku kesal hingga tercipta pertengkaran-pertengkaran kecil. Tapi justru
itu yang membuat kita dekat, dekat sebagai saudara, dekat sebagai sahabat.
Hingga tak terasa bangku SMA pun kita duduki. Masa putih abu-abu yang membuat
hidupku demikian berwarna. Kita tetap saling bertegur sapa, tapi tak seakrab
dulu lagi. Kau punya teman sendiri, aku pun begitu. Dan apapun tentangmu tak
ada yang istimewa, hingga kita menginjak kelas 3 SMA. Entah mengapa ada gelagat
aneh yang kutangkap darimu. Persahabatan yang dulu membuat kita dekat kini
berlanjut kembali. Tapi, ada rona lain yang kutangkap dari wajahmu ketika kau
memandangku, ada rasa yang tak sekedar sahabat. Dugaanku benar. Suatu hari,
dengan hati-hati kau mengetuk apa yang kututup selama ini. Meski tak sepenuhnya
tertutup. Sebagai manusia dan wanita normal, ada rasa yang tersimpan rapi di
sudut sana, tapi sayang bukan untukmu, bukan kau lelaki itu.
Tapi kau tak pernah
menyerah, kau mendekatiku dengan caramu. Dengan hal tulus yang tak pernah
kuduga sebelumnya. Kau yang mengajarkan dan membuka mataku bahwa ternyata masih
ada cinta yang sifatnya hanya memberi, tanpa sedikitpun kau memaksaku
membalasnya. Hari itu, pagi kesekian
di sekolah kita, kutemukan sebuah buku di atas mejaku. Mungkin tercecer, pikirku. Tapi otak manusiawiku jalan, aku pun
membuka buku itu. Itu ternyata bukumu. Ada sehalaman puisi di sana. Indah dan
dalam. Ungkapan perasaan yang selalu kau sembunyikan dan hanya berani
mengatakannya pada lembaran kertas. Beberapa hari kemudian kau mengaku, buku
itu sengaja kau tinggal dan puisi itu untukku. Meski sudah menduga dari awal,
tak pelak aku pun kaget. Tiba-tiba, aku benci padamu. Benci yang timbul karena
ketidakmampuanku membalas rasamu, benci karena kau tega mengubah persahabatan
kita menjadi hubungan sekaku ini, benci karena aku tahu ada rasa itu untukku,
orang yang memiliki rasa yang sama, tapi untuk orang lain. Sejak saat itu aku
menghindarimu, meski itu kulakukan tanpa sengaja. Entah kebetulan atau apa,
kita satu kelompok dalam salah satu tugas akhir sekolah.
Kau berusaha
menampilkan yang terbaik yang kau punya. Kenapa, kenapa kau berubah? Kenapa
mesti aku wanita itu? Kau tak seperti dulu lagi, kau selalu membuatku merasa
bahwa kau lebih baik dari yang lain untukku. Tapi sayang, itu tak mengubah
sedikit pun rasaku. Meski kuakui, kau cerdas. Kau mendekatiku dengan halus,
tulus, tanpa ada kata-kata langsung. Kau mengaplikasikan dalam karya terbaik
kelompok kita, karya terakhir yang kau persembahkan untukku, katamu saat
kejadian itu sudah jauh di belakang. Ah, tapi tentu saja perasaanku tak mudah
berubah. Aku tetap menganggapmu sahabat, tak lebih.
Apalagi yang harus
kulakukan agar kau kembali ke perasaanmu yang dulu? Sungguh, aku tak suka rasa
itu ada untukku dari orang baik sepertimu. Aku tak mampu mengecewakanmu. Aku
pun pelan-pelan berusaha membuatmu benci padaku. Itu memang berhasil, kita
sempat perang dingin, diam-diaman. Tapi itu hanya sementara. Karena
kedewasaanmu, kita baikan kembali. Katamu apapun yang kulakukan, takkan
membuatmu membenciku, lagi-lagi kau mengatakannya beberapa tahun setelah
kejadian itu berlalu. Sebagai lelaki normal, kau pasti ingin mengetahui rasaku
untukmu, dari mulutku sendiri. Hingga suatu hari, kau mengungkapkannya. Aku
menangis, menangis karena terpaksa menyakitimu, mengatakan bahwa kau ada di
pikiranku, tapi tidak di hatiku. Kau sahabatku, tak lebih. Rasaku buatmu
sebatas itu.
Meski kecewa, kau tetap
tersenyum untukku. Berdoa yang terbaik untukku. Merelakanku untuk siapapun yang
bisa membuatku bahagia. Tapi ada satu hal yang tak kutahu saat itu, ternyata
kau nyaris frustasi. Rokok, barang tak pernah kau sentuh sebelumnya dalam
beberapa jam ludes sebungkus. Hingga tenggorokan dan mulutmu pahit. Tapi kau
sempat berterima kasih padaku, kau tak mau mengenal rokok lagi setelah itu.
Kapok katamu, haha.
Sampai saat ini kau
tetap berusaha menyadarkanku arti dirimu buatku. Dan sampai saat ini pula,
rasaku masih sama. Tenang sobat, jika aku memang rumah yang ditakdirkan sebagai
tempat kembalimu, maka aku takkan kemana-mana dan tak ada yang dapat
memasukinya selain kamu, karena kamu yang memegang kuncinya. Tapi jika bukan,
maka akan ada rumah terbaik dari Allah untukmu, dan ada penghuni terbaik
untukku. Just believe it. Satu
kata-katamu yang selalu kuingat “Jangan salah pilih Una, karena jika kamu
bersedih, kamu tak pernah sadar bahwa aku yang menangis dalam diam, menangisi
ketidakmampuanku membuatmu menyayangiku.
Tulisan ini untukmu
sahabatku, salah seorang guru kehidupan terbaik yang dikirimkan Allah untukku,
yang sekarang lagi berjuang di pulau lain, 2 jam lebih cepat dari tempatku
kini. Terima kasih, kau mengajarkan arti ketulusan sekaligus arti menyayangi.
Terima kasih membuatku merasa berarti karena cintamu, menjadikanku orang
pertama yang kau mintai pendapat jika ingin melakukan sesuatu, yang sampai saat
ini hanya bisa kubalas dengan menyayangimu sebagai sahabatku. Doaku semoga kau
selalu bahagia, baik-baik di sana, jangan pernah melupakan hakikat kita sebagai
makhluk-Nya.