Senin, 08 September 2014

TERIMA KASIH CINTA TULUSMU

Bahkan melihatku senyum pun kau sudah bahagia. Perasaan yang entah tumbuh karena apa, mungkin kebiasaan, mungkin kesempatan. Iya, kau mengenalku dan (tentu saja) aku mengenalmu saat 2 SMP. Kita akrab, saling berbagi cerita, bahkan tak jarang kau membuatku kesal hingga tercipta pertengkaran-pertengkaran kecil. Tapi justru itu yang membuat kita dekat, dekat sebagai saudara, dekat sebagai sahabat. Hingga tak terasa bangku SMA pun kita duduki. Masa putih abu-abu yang membuat hidupku demikian berwarna. Kita tetap saling bertegur sapa, tapi tak seakrab dulu lagi. Kau punya teman sendiri, aku pun begitu. Dan apapun tentangmu tak ada yang istimewa, hingga kita menginjak kelas 3 SMA. Entah mengapa ada gelagat aneh yang kutangkap darimu. Persahabatan yang dulu membuat kita dekat kini berlanjut kembali. Tapi, ada rona lain yang kutangkap dari wajahmu ketika kau memandangku, ada rasa yang tak sekedar sahabat. Dugaanku benar. Suatu hari, dengan hati-hati kau mengetuk apa yang kututup selama ini. Meski tak sepenuhnya tertutup. Sebagai manusia dan wanita normal, ada rasa yang tersimpan rapi di sudut sana, tapi sayang bukan untukmu, bukan kau lelaki itu.

Tapi kau tak pernah menyerah, kau mendekatiku dengan caramu. Dengan hal tulus yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kau yang mengajarkan dan membuka mataku bahwa ternyata masih ada cinta yang sifatnya hanya memberi, tanpa sedikitpun kau memaksaku membalasnya. Hari itu, pagi kesekian di sekolah kita, kutemukan sebuah buku di atas mejaku. Mungkin tercecer, pikirku. Tapi otak manusiawiku jalan, aku pun membuka buku itu. Itu ternyata bukumu. Ada sehalaman puisi di sana. Indah dan dalam. Ungkapan perasaan yang selalu kau sembunyikan dan hanya berani mengatakannya pada lembaran kertas. Beberapa hari kemudian kau mengaku, buku itu sengaja kau tinggal dan puisi itu untukku. Meski sudah menduga dari awal, tak pelak aku pun kaget. Tiba-tiba, aku benci padamu. Benci yang timbul karena ketidakmampuanku membalas rasamu, benci karena kau tega mengubah persahabatan kita menjadi hubungan sekaku ini, benci karena aku tahu ada rasa itu untukku, orang yang memiliki rasa yang sama, tapi untuk orang lain. Sejak saat itu aku menghindarimu, meski itu kulakukan tanpa sengaja. Entah kebetulan atau apa, kita satu kelompok dalam salah satu tugas akhir sekolah.

Kau berusaha menampilkan yang terbaik yang kau punya. Kenapa, kenapa kau berubah? Kenapa mesti aku wanita itu? Kau tak seperti dulu lagi, kau selalu membuatku merasa bahwa kau lebih baik dari yang lain untukku. Tapi sayang, itu tak mengubah sedikit pun rasaku. Meski kuakui, kau cerdas. Kau mendekatiku dengan halus, tulus, tanpa ada kata-kata langsung. Kau mengaplikasikan dalam karya terbaik kelompok kita, karya terakhir yang kau persembahkan untukku, katamu saat kejadian itu sudah jauh di belakang. Ah, tapi tentu saja perasaanku tak mudah berubah. Aku tetap menganggapmu sahabat, tak lebih.

Apalagi yang harus kulakukan agar kau kembali ke perasaanmu yang dulu? Sungguh, aku tak suka rasa itu ada untukku dari orang baik sepertimu. Aku tak mampu mengecewakanmu. Aku pun pelan-pelan berusaha membuatmu benci padaku. Itu memang berhasil, kita sempat perang dingin, diam-diaman. Tapi itu hanya sementara. Karena kedewasaanmu, kita baikan kembali. Katamu apapun yang kulakukan, takkan membuatmu membenciku, lagi-lagi kau mengatakannya beberapa tahun setelah kejadian itu berlalu. Sebagai lelaki normal, kau pasti ingin mengetahui rasaku untukmu, dari mulutku sendiri. Hingga suatu hari, kau mengungkapkannya. Aku menangis, menangis karena terpaksa menyakitimu, mengatakan bahwa kau ada di pikiranku, tapi tidak di hatiku. Kau sahabatku, tak lebih. Rasaku buatmu sebatas itu.

Meski kecewa, kau tetap tersenyum untukku. Berdoa yang terbaik untukku. Merelakanku untuk siapapun yang bisa membuatku bahagia. Tapi ada satu hal yang tak kutahu saat itu, ternyata kau nyaris frustasi. Rokok, barang tak pernah kau sentuh sebelumnya dalam beberapa jam ludes sebungkus. Hingga tenggorokan dan mulutmu pahit. Tapi kau sempat berterima kasih padaku, kau tak mau mengenal rokok lagi setelah itu. Kapok katamu, haha.

Sampai saat ini kau tetap berusaha menyadarkanku arti dirimu buatku. Dan sampai saat ini pula, rasaku masih sama. Tenang sobat, jika aku memang rumah yang ditakdirkan sebagai tempat kembalimu, maka aku takkan kemana-mana dan tak ada yang dapat memasukinya selain kamu, karena kamu yang memegang kuncinya. Tapi jika bukan, maka akan ada rumah terbaik dari Allah untukmu, dan ada penghuni terbaik untukku. Just believe it. Satu kata-katamu yang selalu kuingat “Jangan salah pilih Una, karena jika kamu bersedih, kamu tak pernah sadar bahwa aku yang menangis dalam diam, menangisi ketidakmampuanku membuatmu menyayangiku.

Tulisan ini untukmu sahabatku, salah seorang guru kehidupan terbaik yang dikirimkan Allah untukku, yang sekarang lagi berjuang di pulau lain, 2 jam lebih cepat dari tempatku kini. Terima kasih, kau mengajarkan arti ketulusan sekaligus arti menyayangi. Terima kasih membuatku merasa berarti karena cintamu, menjadikanku orang pertama yang kau mintai pendapat jika ingin melakukan sesuatu, yang sampai saat ini hanya bisa kubalas dengan menyayangimu sebagai sahabatku. Doaku semoga kau selalu bahagia, baik-baik di sana, jangan pernah melupakan hakikat kita sebagai makhluk-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JURNAL 11 BULAN CAWA

Bismillahirrahmanirrahim Sabtu, 31 Agustus 24: Sekitar pukul setengah 9 malam, Cawa tidur setelah meminum susu dari botol susunya. Tapi, sek...