Bapakku lagi ikut pelatihan, tapi karena beliau sakit saya ikut mendampingi. Kebetulan lagi bulan Ramadhan, jadi makannya cuma 2 waktu, sahur dan berbuka. Sebagai pendamping, saya juga ikut menikmati konsumsi dari dapur untuk peserta. Meskipun agak kurang enak juga, karena semua peserta membayar rata dan saya menikmati makanan yang sama dengan mereka, harusnya kan bayar double yah atau makan di luar. Tapi karena peserta sendiri yang meminta saya untuk makan bersama mereka, saya pun ikut. Lagian juga saya paling 2 malam di sini, dari total 4 malam kegiatan. Karena di sini tak seperti di hotel yang selalu dihitung per kepala per keadaan.
Bukannya mau
menjelek-jelekkan atau tidak bersyukur, tapi menurut saya peserta harusnya
mendapatkan nutrisi yang cukup untuk kegiatan pelatihan mereka, apalagi di
bulan puasa seperti ini dan mereka bayar pula. Menu yang diberikan paling tidak
memenuhi standard 4 sehat dong yah. Menu
saat buka puasa sih standard, masih bisa diterima akal sehat, perut lapar, dan
hati nurani. Tapi, saat sahur itu lo. Hampir semua peserta mengeluh. Bagaimana
tidak, menunya nasi, sayur sop, dan semacam pepes ikan, tapi tanpa daun dan
warnanya hijau tua pula. Nggak good
looking banget dah. Sementara, di meja lainnya (meja panitia), tersedia
lauk yang lumayan “pantas”. Pertanyaannya, mengapa ada perbedaan menu antara
panitia dan peserta? Apa karena kerja mereka lebih banyak? Entahlah, padahal
mereka sama-sama manusia, kebutuhan akan makanan juga sama. Bukan hanya di
tempat ini sih sering terjadi hal begini, tetapi di tempat lain, cerita-cerita
serupa juga kadang mampir di telinga. Sekali lagi, saya tidak punya hak untuk
protes atau apalah, tetapi sebagai manusia saya berhak mengemukakan apa yang
saya rasakan. Untuk membangun bangsa, segalanya harus dimulai dari hal kecil,
dari diri sendiri, dan dari sekarang (Aa Gym’s quote).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar