Setiap manusia punya
keinginan, harapan, cita-cita yang hendak diwujudkannya, termasuk saya. Anak
pertama perempuan di keluarga kecilku yang Alhamdulillah memiliki 1 adik
lelaki. Sebagai anak pertama, saya sadar betul bahwa saya memiliki tanggung
jawab lebih dibanding adikku, meski dia lelaki. Sayalah penentu berhasil
tidaknya pendidikan orang tuaku kepada kami, termasuk dalam hal pencapaian
cita-cita. Sekarang saya menempuh pendidikan S2 di UGM Jogja, masuk semester 3.
Sebagai orang tua sekaligus guru, mereka bercita-cita agar kelak aku bisa
melanjutkan perjuangan mereka mencerdaskan generasi bangsa di bangku kuliah
alias menjadi dosen. Akupun sebenarnya bercita-cita seperti itu karena memang
aku suka mengajar, aku suka berbagi ilmu. Tetapi, ada satu hal yang baru aku
sadari dan pelajari mengenai perananku kelak, yaitu tanggung jawab dan
kewajiban sebagai istri dan ibu. Mengenai bekerja? Itu mubah. Sebagai hamba
yang ingin memperoleh ridho-Nya, tentu saja yang wajib harus didahulukan. Tidak
masalah sebenarnya jika keduanya bisa dipenuhi sekaligus, yang menjadi
persoalan jika kita harus memilih di antara keduanya karena alasan tertentu.
Jika ingin ditelisik secara mendalam, sedikit sekali yang bisa memaksimalkan 24
jam waktunya untuk menyelesaikan kedua pekerjaan itu. Hal inilah yang
melatarbelakangi berbagai kajian yang muncul dengan bahasan seputar “Wanita
Karier atau Ibu Rumah Tangga?”
Memang sulit jika kita
dihadapkan pada pertanyaan semacam itu. Apalagi jika keadaan ekonomi memang
menuntut kita untuk membantu suami atau jika kita memiliki cita-cita sendiri
yang seiring dengan harapan orang tua, seperti yang kualami. Meski belum
menikah, hal itu harus kupikirkan dan kupertimbangkan dari sekarang, agar saat
Allah mempertemukanku dengan suami kelak, saya sudah punya jawaban beserta
alasannya. Meski terus terang saya ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus
suami dan menemani anak di masa tumbuh kembangnya, saya juga sadar bahwa
harapan orang tua tidak boleh saya musnahkan begitu saja. Menjadi ibu dan
istri, menjaga harta suami dan mendidik anak-anak sangatlah mulia, bahkan jika
kita ikhlas karena Allah, Dia menjaminkan surga untuk kita karena bakti itu
dihitung jihad. Begitupula dengan berbakti kepada kedua orang tua merupakan
suatu kewajiban dan durhakanya kita merupakan dosa besar tingkat 2 setelah
syirik. Lalu bagaimana?
Untuk hal ini, saya
masih terus belajar. Lagian, hal ini nanti juga butuh dikomunikasikan dengan
suami. Tetapi untuk saat ini, di tengah ilmu yang masih sedikit, saya bisa
mengambil kesimpulan bahwa cita-cita untuk menjadi dosen bukan hanya harapan
orang tua semata, saya pun menginginkannya dan berbagi ilmu yang bermanfaat
adalah salah satu amal jariah, maka untuk mencapai hal ini saya harus fokus
dengan tujuan dan apa yang saya kerjakan sekarang harus maksimal. Dan saya
selalu yakin, doa orang tua yang mengiringi perjalananku, insya Allah
melancarkan semuanya. Toh, jika Allah menakdirkan saya sebagai ibu rumah
tangga, yang merupakan hal yang tak bisa ditawar, ilmu itu juga akan berguna untuk
anak-anak kelak sekaligus terlatih dalam menemukan solusi jika ada masalah
antara saya dan suami. Karena menjadi ibu rumah tangga juga memiliki
kompleksitasnya sendiri sehingga ilmunya pun harus mencakup banyak dimensi. Intinya,
belajar dan terus belajar.
Dan lagi, saya punya
hutang kepada negara kita. Negara yang telah membiayai pendidikanku ini. Baktiku
kepadanya tidak boleh kulupakan pula. Semoga Allah memberi kekuatan dan
kemampuan untuk menunjukkan baktiku kepada kalian tanpa mengorbankan
syariat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar