Menjadi seorang
pemimpin tidaklah mudah. Bahkan, salah satu hakikat taat kepada Allah untuk
meraih jannah-Nya adalah menaati pemimpin dan tak heran di upacara bendera tiap
Senin, selalu terselip doa untuk pemimpin kita saat sesi doa dibacakan, tetapi
salah satu kaum yang tidak disapa oleh Allah di hari akhir kelak adalah para
pemimpin durjana. Hal ini tercermin dalam sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa
sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap
kalian adalah pemimpin; dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir adalah pemimpin. Seorang suami juga
pemimpin atas keluarganya. Seorang wanita juga pemimpin atas rumah suami dan
anak-anaknya. Maka, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan
dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”.
Bayangkan, pemimpin
akan dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan-kebijakan yang dibuatnya,
keadaan orang yang dipimpinnya, selama orang tersebut ada dalam naungan
kepemimpinannya. Setidaknya gambaran yang ngeri-ngeri sedap itulah yang ada
dalam benakku ketika malam itu diwhatsapp
oleh salah seorang kader senior. Beliau awalnya menanyakan kegiatanku semester
2 apa saja, hingga perbincangan berlanjut ke pertanyaan inti dari beliau
“Berdasarkan rapat dewan formatur, diputuskan bahwa Una diberi amanah untuk
menjadi kabid Kemuslimahan HIMMPAS periode 2014/2015. Apakah anti bersedia?”
*dikutip dengan pengubahan seperlunya. Tentu saja saya kaget dan berpikir keras
mengenai keputusan yang tiba-tiba ini (menurutku saat itu). Pertama, saya belum
pernah menjadi kabid di organisasi manapun, mentok-mentoknya sekbid. Kedua,
berdasarkan keputusan awal, kadiv Kemuslimahan sudah terpilih. Ketiga, bidang
Kemuslimahan baru periode ini launching,
otomatis kinerja kami mempengaruhi pantas tidaknya bidang ini dipertahankan. And the last but not least, ngeri membayangkan jika kabid
Kemuslimahan, pemimpin muslimah se-pascasarjana penampakannya kayak saya, dari
segi ilmu yang minim dan penampilan (baca: busana syar’i) yang masih on process. Masih banyak muslimah lain
yang lebih layak menurut saya. Tetapi, saya tidak punya alasan syar’i untuk
menolak, apalagi setelah beliau menceritakan alasan digantinya kabid.
Menghadapi kegalauan
itu, saya menghubungi seorang mentor yang akhirnya bersedia meluangkan waktunya
untuk makan siang bersama, sambil membahas hal ini. Setelah menceritakan uneg-uneg dan membahas sana-sini, beliau
hanya tersenyum dan menanggapi dengan tenang. Satu kalimat yang masih terngiang
hingga sekarang dan menguatkan dikala futur menerpa yaitu “Jangan pernah
meminta amanah, tetapi jika telah diberi, tak etis menolaknya, karena yang memilih
kita bukan manusia, melainkan Allah.” Masih saya bantah dengan “Tapi mb, saya
merasa belum pantas, masih banyak yang jauh lebih layak dibanding saya”. Kata
beliau lagi “Allah tidak pernah salah memilih, maka jika mb Una merasa belum
pantas, Allah yang akan memantaskannya, tentu saja dengan bantuan usaha mb Una
sendiri. Memang amanah itu berat, tapi lebih berat lagi jika tak punya amanah”.
Gimana hatiku tak luluh coba,
kalimatnya begitu sejuk. Akhirnya, beliau memberikan beberapa wejangan mengenai
hal-hal yang harus kulakukan dan yang akan kuhadapi saat memegang amanah ini.
Modal besarnya, manajemen waktu dan emosi.
Kami yang tergabung di
Kemuslimahan harus menyusun dari awal program kerja (proker) yang akan kami
lakukan, meskipun sudah ada sedikit “contekan” sewaktu bidang ini masih menjadi
sub-bidang di PPSDM. Banyak cerita lucu nan mengharukan di sana. Teman-teman bidang
sangat bersemangat mengatur proker, hingga tak terasa proker kami sudah
mewakili satu organisani. Akhirnya setelah direduksi dan direvisi berulang kali
dengan bantuan teman-teman pengurus di raker HIMMPAS dan di rapat pengurus
harian (PH), proker kami akhirnya fix. Dalam proses pelaksanaannya pun, banyak
hal yang berubah meski secara content tetap
dapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar