Ahad,
16 September 2012 . “Hai, nama saya Wahyuna Nur dan saya
takut ketinggian, hehehe” dengan tegas dan tanpa cengar-cengir. Ya, itu adalah
kalimat perkenalan singkat yang mungkin saya ucapkan saat berkenalan dengan
anak-anak yang menyukai petualangan di tempat tinggi, misalnya gunung. Yang
pastinya jika yang saya ajak berkenalan adalah teman dari temanku di PHYSICS
08, sepertinya itu adalah kalimat yang tepat. Bagaimana tidak, mereka menjadi
saksi bisu, saksi hidup, bahkan saksi maccalla saat 4 tahun lalu kami sama-sama
dikader di Taddeang, Maros. Hal memalukan (bagi orang biasa) atau mempopulerkan
(bagi artis karbitan) tersebut saya alami saat hiking, tepatnya di pos terakhir. Panitia menyediakan sebuah permainan
(yang mulai saat itu kuanggap musuhku), yaitu flying fox. Tau kan? Bagi yang belum tau, ya cari tau dong.
Kebetulan kelompok 1 yang maju adalah kelompokku. Kalo gak salah ingat, aku
ketiga dari terakhir. Dan tibalah saat mendebarkan itu (hiks, memalukan
tepatnya). Aku naik tangga untuk menuju garis start flying fox. Aku enjoy
saja naik tangga. Tapi, rasanya lama-kelamaan kakiku agak keram, mungkin karena
capek habis hiking tadi. Maka
kulanjutkan perjalananku. Kudengar teriakan dari bawah, tentunya dari teman dan
seniorku yang menyemangati, karena langkahku memang lambat, padahal kan masih
banyak yang ngantri, aku melirik mereka dan tersenyum. Dari sanalah semuanya
bermula. Setelah pandanganku kualihkan kembali ke atas, entah kenapa kakiku
keram kuadrat, tubuhku bergetar, semua pakaianku terasa sempit, dunia gelap,
dan aku takut. Di saat genting itu, aku pun menyadari ternyata raga ini phobia ketinggian. Ya ampun, padahal aku
sudah setengah perjalanan. Aku sempat berpikiran untuk menjatuhkan diri saja,
toh ada tali pengaman. Setelah berpikir dan menimbang (otak masih jalan), aku
pun memutuskan melanjutkan perjuanganku ke titik tertinggi bumi ini (tentu saja
menurutku, ilmuwan manapun tak akan mengiyakan) dengan berbekal “atas nama
harga diri pribadi dan angkatan”. Tapi, rasanya susah sekali. Dan yang paling
menyebalkan, semua orang yang ada di bawah menyadari ketidakberdayaanku.
Reaksinya pun menyebalkan kuadrat, ada yang mengabadikannya dengan foto, video,
tertawa, menangis dan meringis (yang ini untuk teman angkatanku).
Usaha terakhirku
terletak di tangan. Tangan inilah yang membantu kakiku untuk naik, kakiku
seperti lumpuh, tak bisa sedikitpun digerakkan, sedangkan tangan lainnya
memegang tangga. Setelah berjuang mengatasi rasa takut kurang lebih 1 jam,
akupun berhasil sampai ke atas (plus airmata juga). Tantangan kedua pun harus
kujalani, meluncur dari atas ke bawah pake tali. Hmm, bismillah aja deh. Akupun
melakukannya. Setelah sampai di bawah, senior dan teman-teman menyelamati
(kayak dari perang saja, tapi iya sih perang melawan ketakutan #eeaaa). Tapi, 1
konsekuensi harus kudapat, aku dan teman 1 kelompok harus dihukum untuk
kesalahanku (bagiku sih itu bukan kesalahan), tidak enak juga sih sama
teman-teman, tapi namanya juga kebersamaan (belakangan kukenal sebagai
tolo-tolo). Semenjak itulah langit dan seisi bumi tahu, bahwa aku takut
ketinggian.
Terlepas dari cerita di
atas, ada 1 kisah di hidupku yang juga berhubungan dengan ketinggian, tapi agak
kontras, anggaplah analogi saja. Ini tentang loteng di pondokanku yang
sekarang. Jika mau dibandingkan dari segi jaraknya dari permukaan bumi, gak ada
apa-apanya dibanding flying fox. Tapi,
yang mau saya tekankan bukan ketinggiannya, tapi keindahannya. Entah sejak
kapan aku menikmatinya. Satu-satunya titik tinggi yang aku betah berlama-lama
di sana. Kenapa? Saat malam tiba dan kagak ada kerjaan, aku pun menghabiskan
waktu di loteng (gak mungkin siang hari, panas taukk). Di sana aku tahu,
bagaimana indahnya malam dengan bintang dan bulan sebagai pengawalnya, di
tempat ini aku dapat melihat sekelilingku dengan lebih bebas, kubah mesjid,
atap gereja, SPBU, kampusku tercinta, para pejalan kaki yang berharmoni dengan
pengendara kendaraan bermotor, anak kecil yang berkejaran, pemuda pemudi yang
kasmaran, hhhmmm itu semua bagaikan satu kisah kehidupan yang sayang untuk
dilewatkan. Kalau bukan di tempat ini, di bawah misalnya, mungkin semua
kejadian ini hanyalah rutinitas harian membosankan yang tidak penting untuk
diamati, sama tidak pentingnya menghabiskan waktu di loteng (bagi orang tidak
penting). Di tempat inilah semua kenangan pahit jadi indah, segala keresahan
hilang lenyap, penglihatan dan penilaian terhadap sesuatu juga berbeda,
semuanya dilihat dari sisi positifnya. Aku suka tempat ini dan akan selalu
suka. Satu-satunya tempat tinggi yang membuatku betah berlama-lama. Menyaksikan
banyak hal, merenungkan berbagai kejadian, merangkai kenangan menjadi kekuatan
untuk bekal menjadi manusia lebih baik di masa depan. Cobalah, semoga kalian
juga dapat menemukan tempat favorit untuk saat ini. Tempat yang jauh lebih berharga
dibandingkan kegalauan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar