Senin, 10 Februari 2014

LOTENG

Ahad, 16 September 2012 . “Hai, nama saya Wahyuna Nur dan saya takut ketinggian, hehehe” dengan tegas dan tanpa cengar-cengir. Ya, itu adalah kalimat perkenalan singkat yang mungkin saya ucapkan saat berkenalan dengan anak-anak yang menyukai petualangan di tempat tinggi, misalnya gunung. Yang pastinya jika yang saya ajak berkenalan adalah teman dari temanku di PHYSICS 08, sepertinya itu adalah kalimat yang tepat. Bagaimana tidak, mereka menjadi saksi bisu, saksi hidup, bahkan saksi maccalla saat 4 tahun lalu kami sama-sama dikader di Taddeang, Maros. Hal memalukan (bagi orang biasa) atau mempopulerkan (bagi artis karbitan) tersebut saya alami saat hiking, tepatnya di pos terakhir. Panitia menyediakan sebuah permainan (yang mulai saat itu kuanggap musuhku), yaitu flying fox. Tau kan? Bagi yang belum tau, ya cari tau dong. Kebetulan kelompok 1 yang maju adalah kelompokku. Kalo gak salah ingat, aku ketiga dari terakhir. Dan tibalah saat mendebarkan itu (hiks, memalukan tepatnya). Aku naik tangga untuk menuju garis start flying fox. Aku enjoy saja naik tangga. Tapi, rasanya lama-kelamaan kakiku agak keram, mungkin karena capek habis hiking tadi. Maka kulanjutkan perjalananku. Kudengar teriakan dari bawah, tentunya dari teman dan seniorku yang menyemangati, karena langkahku memang lambat, padahal kan masih banyak yang ngantri, aku melirik mereka dan tersenyum. Dari sanalah semuanya bermula. Setelah pandanganku kualihkan kembali ke atas, entah kenapa kakiku keram kuadrat, tubuhku bergetar, semua pakaianku terasa sempit, dunia gelap, dan aku takut. Di saat genting itu, aku pun menyadari ternyata raga ini phobia ketinggian. Ya ampun, padahal aku sudah setengah perjalanan. Aku sempat berpikiran untuk menjatuhkan diri saja, toh ada tali pengaman. Setelah berpikir dan menimbang (otak masih jalan), aku pun memutuskan melanjutkan perjuanganku ke titik tertinggi bumi ini (tentu saja menurutku, ilmuwan manapun tak akan mengiyakan) dengan berbekal “atas nama harga diri pribadi dan angkatan”. Tapi, rasanya susah sekali. Dan yang paling menyebalkan, semua orang yang ada di bawah menyadari ketidakberdayaanku. Reaksinya pun menyebalkan kuadrat, ada yang mengabadikannya dengan foto, video, tertawa, menangis dan meringis (yang ini untuk teman angkatanku).
Usaha terakhirku terletak di tangan. Tangan inilah yang membantu kakiku untuk naik, kakiku seperti lumpuh, tak bisa sedikitpun digerakkan, sedangkan tangan lainnya memegang tangga. Setelah berjuang mengatasi rasa takut kurang lebih 1 jam, akupun berhasil sampai ke atas (plus airmata juga). Tantangan kedua pun harus kujalani, meluncur dari atas ke bawah pake tali. Hmm, bismillah aja deh. Akupun melakukannya. Setelah sampai di bawah, senior dan teman-teman menyelamati (kayak dari perang saja, tapi iya sih perang melawan ketakutan #eeaaa). Tapi, 1 konsekuensi harus kudapat, aku dan teman 1 kelompok harus dihukum untuk kesalahanku (bagiku sih itu bukan kesalahan), tidak enak juga sih sama teman-teman, tapi namanya juga kebersamaan (belakangan kukenal sebagai tolo-tolo). Semenjak itulah langit dan seisi bumi tahu, bahwa aku takut ketinggian.
Terlepas dari cerita di atas, ada 1 kisah di hidupku yang juga berhubungan dengan ketinggian, tapi agak kontras, anggaplah analogi saja. Ini tentang loteng di pondokanku yang sekarang. Jika mau dibandingkan dari segi jaraknya dari permukaan bumi, gak ada apa-apanya dibanding flying fox. Tapi, yang mau saya tekankan bukan ketinggiannya, tapi keindahannya. Entah sejak kapan aku menikmatinya. Satu-satunya titik tinggi yang aku betah berlama-lama di sana. Kenapa? Saat malam tiba dan kagak ada kerjaan, aku pun menghabiskan waktu di loteng (gak mungkin siang hari, panas taukk). Di sana aku tahu, bagaimana indahnya malam dengan bintang dan bulan sebagai pengawalnya, di tempat ini aku dapat melihat sekelilingku dengan lebih bebas, kubah mesjid, atap gereja, SPBU, kampusku tercinta, para pejalan kaki yang berharmoni dengan pengendara kendaraan bermotor, anak kecil yang berkejaran, pemuda pemudi yang kasmaran, hhhmmm itu semua bagaikan satu kisah kehidupan yang sayang untuk dilewatkan. Kalau bukan di tempat ini, di bawah misalnya, mungkin semua kejadian ini hanyalah rutinitas harian membosankan yang tidak penting untuk diamati, sama tidak pentingnya menghabiskan waktu di loteng (bagi orang tidak penting). Di tempat inilah semua kenangan pahit jadi indah, segala keresahan hilang lenyap, penglihatan dan penilaian terhadap sesuatu juga berbeda, semuanya dilihat dari sisi positifnya. Aku suka tempat ini dan akan selalu suka. Satu-satunya tempat tinggi yang membuatku betah berlama-lama. Menyaksikan banyak hal, merenungkan berbagai kejadian, merangkai kenangan menjadi kekuatan untuk bekal menjadi manusia lebih baik di masa depan. Cobalah, semoga kalian juga dapat menemukan tempat favorit untuk saat ini. Tempat yang jauh lebih berharga dibandingkan kegalauan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JURNAL 18 BULAN CAWA

Bismillahirrahmanirrahim Masya Allah, Tabarakallah akhirnya sampai di usia anakku yang ke-18 bulan dan bisa menulis kembali jurnalnya di sin...