Senin, 10 Februari 2014

WHEN MY FATHER WAS GETTING SICK

Tahun 2010. Saat itu adalah saat yang paling menyedihkan buatku. Pasalnya, orang yang sangat kusayangi yaitu bapakku sakit. Kejadiannya sih mendadak. At the moment that, bapak kurusan, semua orang heran dengan keadaannya. Tapi kami tidak terlalu memperdulikan karena sama sekali tidak ada tanda-tanda sakit dari beliau. Tapi lama-kelamaan, bobot badannya semakin turun. Mama pun menyarankan beliau ke rumah sakit kampungku dan ternyata ditemukan bahwa beliau mengidap penyakit diabetes. Kami pun kaget dan agak panik. Akhirnya atas saran nenekku yang kerja di rumah sakit, bapak pun dirujuk ke rumah sakit Makassar, kebetulan saya juga kuliah di sini. Sesampainya di Makassar, mereka nginap di rumah nenekku.
Pagi itu saya, mama, dan bapak ke rumah sakit di mana nenekku kerja untuk menjalani pemeriksaan di lab dan rontgen. Hal mengejutkan kedua kalinya harus kami dengar. Bapak menderita penyakit TBC, artinya penyakit beliau komplikasi. Jika kami semua tertekan, bapak kelihatannya santai-santai saja, meski kami tidak tahu apa yang sedang dipikirkan beliau sebenarnya. Dan inilah awal mula penyakitnya semakin parah. Bapak orangnya pemendam. Beliau sangat sedih dengan penyakit yang tiba-tiba saja divoniskan kepadanya. Beliau yang selalu sehat, baik-baik saja, dan tidak pernah masuk rumah sakit tentu saja sangat tertekan dengan semua ini. Dan sungguh ini yang kami tidak tahu. Setelah menjalani berobat jalan, suatu hari bapak tiba-tiba mengamuk dan tidak bisa dikendalikan. Yang ada di tempat itu hanya mama, saya dan omku yang seumuran denganku. Kami kaget, om dan mama langsung menenangkan bapak sementara saya menelfon tante yang lagi dinas. Tanteku pun pulang dan hari itu juga bapak dibawa ke rumah sakit Dadi, Rumah Sakit Jiwa di Makassar. Sedih banget, saya tidak menyangka bapak yang begitu kuat di hadapanku ternyata memiliki jiwa serapuh itu.
Sesampainya di rumah sakit, saya tidak bisa membendung airmata lagi. Kalian tahu? Bapak terus meronta hingga akhirnya diikat di salah satu ranjang dan satu ruangan dengan orang tidak waras lainnya. Ya Allah, saya benar-benar tidak tega melihat penderitaan bapakku. Peristiwa itu terjadi kurang lebih 15 menit. Setelah diberi obat penenang, beliau mulai bisa dikendalikan meski suaranya masih mengigau tidak jelas. Hati ini benar-benar tercabik. Saya tidak sanggup, tidak mampu melihatnya seperti ini. Kuatkan bapakku ya Allah, beri kesadaran padanya, itu doa yang selalu kulantunkan saat itu.
Keesokan harinya bapak dipindahkan ke ruangan di samping ruangan yang beliau tempati semalam. Tapi ruangannya tidak lebih bagus dan memadai, sama saja. Bedanya hanya karena beliau sendiri menempati ruangan itu. Sebenarnya bapak mau dipindahkan ke VIP, tapi karena ada sedikit masalah administrasi, proses kepindahan beliau ditunda. Nenekku yang kerja di rumah sakit pun mengurus semuanya. Di point inilah kesedihanku semakin bertambah. Kalian tahu? Saya harus menyaksikan bapak yang terbaring lemah seakan sudah tidak bernyawa, hanya detak jantung dan hembusan napas sesekali yang menandakan bahwa beliau masih satu alam dengan kami. Tidak hanya itu, akibat keribetan pengurusan administrasi, bapak harus dipimpong dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Penyakitnya semakin parah dari hari ke hari. Nyesek banget. Beliau seolah-olah hanya onggokan tubuh tak berdaya yang pasrah akan diapakan. Bapak nyaris koma. Jeritan rasa sakit yang tidak henti keluar dari bibirnya, mengisyaratkan agar kami siap menerima kemungkinan terburuk sekalipun. Bahkan mama sudah menelfon orang di kampung untuk menyiapkan perlengkapan jenazah. Astagfirullah, inikah bentuk keputusasaan kami ya Allah? Atau bagian dari rasa kasihan dan pasrahnya kami akan takdir-Mu? Kami tidak pernah mau kehilangan beliau tapi kami lebih tidak tega melihatnya tersiksa setiap detik untuk setiap sakit yang dirasakannya. Tapi ya Allah, di samping itu saya sangat bersyukur, dukungan dari keluarga dan sahabat kami menjadi obat mujarab untuk jiwa kami yang mulai lelah. Mereka rela mengantarkan makanan, nginap bareng, bahkan menghibur kami sekeluarga, termasuk Halimah. Sahabat baru kami di sana, dia salah satu pasien Rumah Sakit Jiwa tersebut yang sudah agak menunjukkan kabar baik ke arah kesembuhan. Dia menjadi teman berbagi cerita dan ceria kami di sana. Selain itu nikmat-Mu yang berupa materi Alhamdulillah lebih dari cukup untuk biaya bapak, makasih ya Allah. Di saat seperti ini, Engkau selalu menunjukkan kasih sayang-Mu yang sangat luar biasa.
Tapi takdir-Mu sungguh tidak ada yang bisa menebak. Berangsur-angsur setelah dipindahkan ke ruangan VIP keadaan bapak mulai membaik. Itu adalah kabar yang sungguh menggembirakan buat kami, meski tidak berlangsung lama. Sakit bapak parah lagi hingga akhirnya harus dipindahkan ke ruang ICU. Hal ini sekali lagi menguji mental kami. Di ruangan tersebut, detak jantung bapak labil. Kadang baik kadang drop. Hingga akhirnya koma. Ya Allah kami benar-benar merasa shock untuk kesekian kalinya. Hari-hari di ruang ICU adalah hari-hari berat untuk kami. Kami tidak bisa sembarangan menjenguk bapak. Ada jam tertentu yang sudah menjadi peraturan. Silih berganti kami menunggui beliau. Kedatangan kerabat dan orang-orang yang menunjukkan kepeduliannya kepada kami merupakan spirit tersendiri untuk kami. It was a moment which was examining our patience.
Engkau menunjukkan kasih sayang-Mu lagi dan lagi ya Allah. Setelah berkutat di ruang ICU, kabar baik dari dokter bahwa bapak boleh kembali ke ruang perawatan memberi nyawa baru untuk kami. Saat itu menjelang bulan puasa. Kami berharap kesehatan bapak berangsur membaik sehingga kami bisa pulang menyambut Ramadhan di kampung kami tercinta. Alhamdulillah keadaan beliau membaik, tetapi kami harus menyambut hari pertama puasa di rumah sakit. Meski sedih, tapi keadaan bapak yang mengalami banyak kemajuan merupakan hiburan kami. Rasa syukur tak terhingga untuk-Mu ya Allah. Kami akhirnya dapat pulang ke rumah setelah bapak sudah mendingan. Peristiwa sakitnya bapak adalah salah satu momen paling menyedihkan sekaligus memberi pelajaran yang sangat berharga untuk kami khususnya saya. Pertama, kehadiran keluarga sangat berarti untukku, semenjak itu saya selalu bertekad untuk peduli dan memberi bantuan sebisanya buat siapapun, sikap egois yang dulunya harus dihilangkan. Kedua, rajin-rajinlah bersedekah untuk siapapun. The last but not least, takdir Allah hanya Dia yang tahu. Bayangkan bapak yang awalnya diprediksikan tidak akan bertahan hidup, ternyata masih diberi kesempatan menghirup udara dunia, Alhamdulillah. Semoga semuanya memberi hikmah untuk kami, karena kami yakin tidak ada yang sia-sia dari-Mu ya Allah. Terima kasih untuk keluarga, sahabat, dan semua yang sudah memberi dukungan dalam bentuk apapun sehingga bapak bisa sembuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JURNAL 18 BULAN CAWA

Bismillahirrahmanirrahim Masya Allah, Tabarakallah akhirnya sampai di usia anakku yang ke-18 bulan dan bisa menulis kembali jurnalnya di sin...