Tahun
2010. Saat itu adalah saat yang paling menyedihkan buatku.
Pasalnya, orang yang sangat kusayangi yaitu bapakku sakit. Kejadiannya sih
mendadak. At the moment that, bapak
kurusan, semua orang heran dengan keadaannya. Tapi kami tidak terlalu memperdulikan
karena sama sekali tidak ada tanda-tanda sakit dari beliau. Tapi lama-kelamaan,
bobot badannya semakin turun. Mama pun menyarankan beliau ke rumah sakit
kampungku dan ternyata ditemukan bahwa beliau mengidap penyakit diabetes. Kami
pun kaget dan agak panik. Akhirnya atas saran nenekku yang kerja di rumah
sakit, bapak pun dirujuk ke rumah sakit Makassar, kebetulan saya juga kuliah di
sini. Sesampainya di Makassar, mereka nginap di rumah nenekku.
Pagi itu saya, mama,
dan bapak ke rumah sakit di mana nenekku kerja untuk menjalani pemeriksaan di
lab dan rontgen. Hal mengejutkan
kedua kalinya harus kami dengar. Bapak menderita penyakit TBC, artinya penyakit
beliau komplikasi. Jika kami semua tertekan, bapak kelihatannya santai-santai
saja, meski kami tidak tahu apa yang sedang dipikirkan beliau sebenarnya. Dan
inilah awal mula penyakitnya semakin parah. Bapak orangnya pemendam. Beliau
sangat sedih dengan penyakit yang tiba-tiba saja divoniskan kepadanya. Beliau
yang selalu sehat, baik-baik saja, dan tidak pernah masuk rumah sakit tentu
saja sangat tertekan dengan semua ini. Dan sungguh ini yang kami tidak tahu.
Setelah menjalani berobat jalan, suatu hari bapak tiba-tiba mengamuk dan tidak
bisa dikendalikan. Yang ada di tempat itu hanya mama, saya dan omku yang
seumuran denganku. Kami kaget, om dan mama langsung menenangkan bapak sementara
saya menelfon tante yang lagi dinas. Tanteku pun pulang dan hari itu juga bapak
dibawa ke rumah sakit Dadi, Rumah Sakit Jiwa di Makassar. Sedih banget, saya
tidak menyangka bapak yang begitu kuat di hadapanku ternyata memiliki jiwa
serapuh itu.
Sesampainya di rumah
sakit, saya tidak bisa membendung airmata lagi. Kalian tahu? Bapak terus
meronta hingga akhirnya diikat di salah satu ranjang dan satu ruangan dengan
orang tidak waras lainnya. Ya Allah, saya benar-benar tidak tega melihat
penderitaan bapakku. Peristiwa itu terjadi kurang lebih 15 menit. Setelah
diberi obat penenang, beliau mulai bisa dikendalikan meski suaranya masih
mengigau tidak jelas. Hati ini benar-benar tercabik. Saya tidak sanggup, tidak
mampu melihatnya seperti ini. Kuatkan bapakku ya Allah, beri kesadaran padanya,
itu doa yang selalu kulantunkan saat itu.
Keesokan harinya bapak
dipindahkan ke ruangan di samping ruangan yang beliau tempati semalam. Tapi
ruangannya tidak lebih bagus dan memadai, sama saja. Bedanya hanya karena
beliau sendiri menempati ruangan itu. Sebenarnya bapak mau dipindahkan ke VIP,
tapi karena ada sedikit masalah administrasi, proses kepindahan beliau ditunda.
Nenekku yang kerja di rumah sakit pun mengurus semuanya. Di point inilah
kesedihanku semakin bertambah. Kalian tahu? Saya harus menyaksikan bapak yang
terbaring lemah seakan sudah tidak bernyawa, hanya detak jantung dan hembusan
napas sesekali yang menandakan bahwa beliau masih satu alam dengan kami. Tidak
hanya itu, akibat keribetan pengurusan administrasi, bapak harus dipimpong dari
ruangan satu ke ruangan lainnya. Penyakitnya semakin parah dari hari ke hari.
Nyesek banget. Beliau seolah-olah hanya onggokan tubuh tak berdaya yang pasrah
akan diapakan. Bapak nyaris koma. Jeritan rasa sakit yang tidak henti keluar
dari bibirnya, mengisyaratkan agar kami siap menerima kemungkinan terburuk
sekalipun. Bahkan mama sudah menelfon orang di kampung untuk menyiapkan
perlengkapan jenazah. Astagfirullah, inikah bentuk keputusasaan kami ya Allah?
Atau bagian dari rasa kasihan dan pasrahnya kami akan takdir-Mu? Kami tidak
pernah mau kehilangan beliau tapi kami lebih tidak tega melihatnya tersiksa
setiap detik untuk setiap sakit yang dirasakannya. Tapi ya Allah, di samping
itu saya sangat bersyukur, dukungan dari keluarga dan sahabat kami menjadi obat
mujarab untuk jiwa kami yang mulai lelah. Mereka rela mengantarkan makanan,
nginap bareng, bahkan menghibur kami sekeluarga, termasuk Halimah. Sahabat baru
kami di sana, dia salah satu pasien Rumah Sakit Jiwa tersebut yang sudah agak
menunjukkan kabar baik ke arah kesembuhan. Dia menjadi teman berbagi cerita dan
ceria kami di sana. Selain itu nikmat-Mu yang berupa materi Alhamdulillah lebih
dari cukup untuk biaya bapak, makasih ya Allah. Di saat seperti ini, Engkau
selalu menunjukkan kasih sayang-Mu yang sangat luar biasa.
Tapi takdir-Mu sungguh
tidak ada yang bisa menebak. Berangsur-angsur setelah dipindahkan ke ruangan
VIP keadaan bapak mulai membaik. Itu adalah kabar yang sungguh menggembirakan
buat kami, meski tidak berlangsung lama. Sakit bapak parah lagi hingga akhirnya
harus dipindahkan ke ruang ICU. Hal ini sekali lagi menguji mental kami. Di
ruangan tersebut, detak jantung bapak labil. Kadang baik kadang drop. Hingga akhirnya koma. Ya Allah
kami benar-benar merasa shock untuk
kesekian kalinya. Hari-hari di ruang ICU adalah hari-hari berat untuk kami.
Kami tidak bisa sembarangan menjenguk bapak. Ada jam tertentu yang sudah
menjadi peraturan. Silih berganti kami menunggui beliau. Kedatangan kerabat dan
orang-orang yang menunjukkan kepeduliannya kepada kami merupakan spirit tersendiri untuk kami. It was a moment which was examining our
patience.
Engkau menunjukkan
kasih sayang-Mu lagi dan lagi ya Allah. Setelah berkutat di ruang ICU, kabar
baik dari dokter bahwa bapak boleh kembali ke ruang perawatan memberi nyawa
baru untuk kami. Saat itu menjelang bulan puasa. Kami berharap kesehatan bapak
berangsur membaik sehingga kami bisa pulang menyambut Ramadhan di kampung kami
tercinta. Alhamdulillah keadaan beliau membaik, tetapi kami harus menyambut
hari pertama puasa di rumah sakit. Meski sedih, tapi keadaan bapak yang
mengalami banyak kemajuan merupakan hiburan kami. Rasa syukur tak terhingga
untuk-Mu ya Allah. Kami akhirnya dapat pulang ke rumah setelah bapak sudah
mendingan. Peristiwa sakitnya bapak adalah salah satu momen paling menyedihkan
sekaligus memberi pelajaran yang sangat berharga untuk kami khususnya saya.
Pertama, kehadiran keluarga sangat berarti untukku, semenjak itu saya selalu
bertekad untuk peduli dan memberi bantuan sebisanya buat siapapun, sikap egois
yang dulunya harus dihilangkan. Kedua, rajin-rajinlah bersedekah untuk
siapapun. The last but not least,
takdir Allah hanya Dia yang tahu. Bayangkan bapak yang awalnya diprediksikan
tidak akan bertahan hidup, ternyata masih diberi kesempatan menghirup udara
dunia, Alhamdulillah. Semoga semuanya memberi hikmah untuk kami, karena kami
yakin tidak ada yang sia-sia dari-Mu ya Allah. Terima kasih untuk keluarga,
sahabat, dan semua yang sudah memberi dukungan dalam bentuk apapun sehingga
bapak bisa sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar