Senin, 10 Februari 2014

AKU INGIN JADI GURU

Sore itu begitu sulit baginya, dia harus menempuh perjalanan di antara pematang-pematang sawah yang padinya baru saja habis dipanen. Kaki yang telanjang tanpa alas, teriknya matahari yang masih saja setia memberikan panasnya ditambah seragam sekolah dasar yang masih menempel di badannya memberikan rasa gerah luar biasa. Apalagi, sepulang sekolah tadi dia belum sempat makan siang karena keburu mendengar percakapan yang membuatnya harus kabur dari rumah. Dia duduk di salah satu sisi pematang yang agak teduh dan memiliki sumber mata air sejenis sumur kecil, sekedar melepas lelah dan menghapus dahaga. Dia minum beberapa teguk sampai puas. Si gadis yang baru berumur 11 tahun menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. Dia tidak habis pikir, mengapa keluarganya mengambil keputusan sepihak seperti itu. Mereka sama sekali tidak peduli dengan cita-cita dan masa depannya. Iya, dia kabur dari rumah karena keluarga besarnya ingin menikahkannya dengan seorang pemuda. Terlalu dini? Untuk ukuran usia 11 tahun mungkin iya, tapi bagi masyarakat di kampungnya tidak. Rata-rata anak mereka dinikahkan di usia segitu. Beda dengan gadis seusianya, dia punya cita-cita, dia punya impian, dia punya tujuan masa depan, ingin mencerdaskan bangsa, menjadi salah satu pendidik generasi, seorang guru. Dan untuk mencapainya, dia harus masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setara dengan SMA, tapi khusus untuk guru). Di zaman itu, menjadi guru benar-benar membutuhkan ketangguhan dan kesabaran, tidak banyak yang bercita-cita seperti itu. Tentu saja, gajinya belum segede sekarang, bahkan biasanya malah tidak digaji. Kalau sekarang bejibun yang mendaftar jadi guru, dulu malah sebelum lulus sekolah, SK (Surat Keputusan) untuk menjadi guru sudah keluar, saking kurangnya tenaga pendidik. Tapi si gadis kecil tidak peduli, dia tetap mempertahankan cita-citanya, baginya gaji nomor sekian. Yang dia tahu, dia mau jadi guru, pahlawan tanpa tanda jasa, ingin mengabdi kepada negaranya, sesimple itu. Menjelang magrib, dia memberanikan pulang, tapi ke rumah neneknya.
“Kamu kemana saja? Semua orang khawatir mencarimu” sambut sang nenek sambil memeluknya.
“Saya ke sawah, sengaja kabur. Saya tidak mau dinikahkan sebelum jadi guru, titik.”
“Iya, kan kamu bisa bicara baik-baik.”
“Tapi om pasti memaksaku, dia kan sok berkuasa. Segala yang dia inginkan harus terjadi.”
“Hushhh, nda boleh begitu. Mandilah dulu, sholat, terus makan sama nenek. Habis itu kamu istirahat. Besok harus pulang, semua masalah harus diselesaikan. Kabur nda akan menyelesaikan masalah."
Dia akhirnya menurut. Saat tubuhnya siap istirahat, samar-samar terdengar suara omnya di ruang tamu. Pasti dia datang ingin menjemputku, pikirnya. Saya harus cepat-cepat tidur. Dia pun terlelap. Di ruang tamu, Omnya ngotot ingin membawanya pulang, tapi si Nenek mengatakan besok saja. Biar dia istirahat malam ini di rumahnya. Akhirnya, si Om mengalah.
Esok paginya sesudah sarapan, dia diantar neneknya pulang. Setelah melalui musyawarah yang agak alot, si gadis boleh bernapas lega, keluarga besarnya setuju tidak menikahkannya sebelum jadi guru. Hari-harinya pun berlalu seperti biasa. Diapun harus menjalani kesehariannya sebagai pelajar. Pagi-pagi buta sekali dia harus bangun, mengangkat air dan menjerangnya, membantu ibunya menanak nasi, membakar ikan kering untuk sarapannya. Hampir semua masyarakat di desanya berprofesi sebagai petani, begitu pula ibunya. Ibu yang membesarkannya sendiri, menjadi single parent untuknya, memutuskan tidak akan menikah lagi setelah ditinggal suaminya saat si gadis masih dalam kandungan. Seorang wanita tangguh, tak kenal lelah, tak kenal kata menyerah untuk menghidupi dirinya dan anaknya. Bekerja membanting tulang di sawah orang, mencari nafkah untuk sekolah sang anak. Saat liburan, si gadis tidak segan-segan turun membantu mencari nafkah. Kehidupan yang sulit itu tidak menyurutkan niatnya untuk meraih cita-cita. Karena kemiskinan, dia hanya punya sepasang sepatu dan sepasang sendal. Sepatu tersebut harus dijaga agar tidak mudah rusak, padahal jarak sekolah ke rumahnya sangat jauh, belasan kilometer dan ditempuh dengan jalan kaki dan medannya pun luar biasa, jalanan terjal berbatu dan melalui sungai. Kalaupun ada kendaraan, itu adalah kuda atau mobil truk yang sekali-sekali datang. Untuk mengakalinya, dia menggunakan sendal ke sekolah dan menggantinya dengan sepatu ketika sampai. Begitu terus setiap hari. Sepulang sekolah pun, dia harus langsung mengganti pakaian, memasak sendiri_jika pun ada lauk_karena ibunya masih di sawah. Sebenarnya perjodohan kemarin bukan keinginan ibunya, tapi keluarga besar terutama omnya. Bukan sekali itu dirinya ingin dijodohkan, tapi ketangguhannya mempertahankan prinsip membawa keluarganya akhirnya mengalah.
Setelah lulus dari SMP, dia pun harus merantau ke kota untuk melanjutkan sekolah ke SPG. Dia harus menumpang di rumah orang lain, ipar tantenya. Kehidupan barunya lebih sulit, kebayanglah bagaimana kalau menumpang. Meski jarak ke sekolahnya lebih dekat dibanding saat SD dan SMP, dia tetap harus bangun pagi buta untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Pulang sekolah pun begitu. Tetapi, dia tidak pernah mengeluh dan menyerah, dia menganggap apa yang dialaminya saat ini adalah bayaran untuk cita-citanya di masa depan. Tak terasa waktu semakin menunjukkan kuasanya untuk berlalu. Hari-hari menjelang ujian kelulusan pun dilalui. Dalam masa itu ada pendaftaran menjadi guru, profesi yang diimpikannya sejak dulu, tapi ijazahnya belum keluar. Beruntung untuknya, semua yang sekolah di SPG bisa mendaftar sebelum lulus. Akhirnya dia dan teman-temannya mendaftar dan berhasil lulus. Bahkan SK penempatan sudah ada di tangan. Dia ditugaskan mengajar di tempat terpencil, beberapa kilometer dari kampungnya. Dia bisa bolak-balik rumah, pikirnya. Dan perjuangan belum berakhir, the next journey menanti.
Untuk menuju tempatnya mengajar, beberapa kilometer kembali harus dilalui. Dia pun tinggal di perumahan sekolah dan pulang ke rumah hanya saat weekend. Gaji? Jangan ditanya. Itu bahkan tidak cukup memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dia harus berhemat, uangnya harus ditabung. Setelah beberapa tahun, dia berhasil mencicil motor bebek, kendaraan yang ngetrend saat itu. Masalah baru muncul, dia belum bisa mengendarai motor ditambah lagi dia memiliki teman seprofesi yang otomatis harus boncengan ke sana. Waduh, ribet juga yah. Tidak ada pilihan lain, dia harus memberanikan diri belajar otodidak sekaligus membonceng temannya. Dan terjadilah kelucuan itu, setiap beberapa meter dia harus jatuh dan bangun lagi. Hal itu terjadi berulang-ulang sampai akhirnya dia pun lancar. Just fight and spirit.
Setelah dimutasi ke sekolah-sekolah lain, akhirnya dia menetap membagi ilmu di SD kampungnya. Dia juga menjalin asmara dengan seorang pria dari kampung seberang, tapi sayang seorang lelaki seprofesi dengannya diam-diam telah melamarnya. Dan dia sudah tidak punya alasan lagi, cita-citanya sudah tercapai. Setelah melalui proses yang alot, akhirnya dia pun menikah dengan lelaki tersebut. Waktu pun berlalu dan tingkat kesejahteraan seorang guru mulai diperhatikan pemerintah. Kehidupannya berangsur membaik, mampu membangun rumah, membeli sawah dan menunaikan rukun Islam ke 5. Dan yang turut merasakan kebahagiaan itu adalah anak-anaknya, meski dia tetap tidak mau memanjakan dengan segala fasilitas yang hanya membuat mereka bermental kerupuk. Dengan pengalaman agak terkekang dan diatur sana-sini saat kecil, dia memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih masa depannya sendiri.
Demikianlah, apakah cerita ini fiktif? Tentu saja tidak. Ini nyata, pure. Hebat? Berhasil menerima nobel atau apalah piagam penghargaan sejenisnya? Jawabannya tidak, masih banyak cerita yang jauh lebih hebat dari ini yang dapat menjadi motivasi kita, tak ada nobel dan semacamnya. Tapi bagiku, cerita inilah yang paling hebat dari apapun, cerita yang dialami sendiri oleh wanita terdekat dalam hidupku. Cerita yang kelak menjadi inspirasi hidupku, kekuatanku dan semangatku. Perjuangan meraih cita-cita yang tidak mudah. Saat fasilitas belum selengkap sekarang. Apalagi zaman serba instan dan mudah seperti sekarang, tentu saja lebih banyak hal yang bisa kita capai. Tapi apa? Semakin teknologi maju, semakin dimanjakan pula sebagian dari kita, terperangkap dalam zona nyaman yang kita buat sendiri, menghasilkan inersia tak terbatas. Padahal jika kita ingin bergerak, hal yang lebih nyaman akan kita dapatkan. Dengan kekuatan impian dan tekad, segala yang dicita-citakan insya Allah akan tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JURNAL 18 BULAN CAWA

Bismillahirrahmanirrahim Masya Allah, Tabarakallah akhirnya sampai di usia anakku yang ke-18 bulan dan bisa menulis kembali jurnalnya di sin...