Sore itu begitu sulit baginya, dia harus menempuh perjalanan di antara
pematang-pematang sawah yang padinya baru saja habis dipanen. Kaki yang
telanjang tanpa alas, teriknya matahari yang masih saja setia memberikan
panasnya ditambah seragam sekolah dasar yang masih menempel di badannya
memberikan rasa gerah luar biasa. Apalagi, sepulang sekolah tadi dia belum
sempat makan siang karena keburu mendengar percakapan yang membuatnya harus
kabur dari rumah. Dia duduk di salah satu sisi pematang yang agak teduh dan
memiliki sumber mata air sejenis sumur kecil, sekedar melepas lelah dan
menghapus dahaga. Dia minum beberapa teguk sampai puas. Si gadis yang baru
berumur 11 tahun menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. Dia tidak habis
pikir, mengapa keluarganya mengambil keputusan sepihak seperti itu. Mereka sama
sekali tidak peduli dengan cita-cita dan masa depannya. Iya, dia kabur dari
rumah karena keluarga besarnya ingin menikahkannya dengan seorang pemuda.
Terlalu dini? Untuk ukuran usia 11 tahun mungkin iya, tapi bagi masyarakat di
kampungnya tidak. Rata-rata anak mereka dinikahkan di usia segitu. Beda dengan
gadis seusianya, dia punya cita-cita, dia punya impian, dia punya tujuan masa
depan, ingin mencerdaskan bangsa, menjadi salah satu pendidik generasi, seorang
guru. Dan untuk mencapainya, dia harus masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setara
dengan SMA, tapi khusus untuk guru). Di zaman itu, menjadi guru benar-benar
membutuhkan ketangguhan dan kesabaran, tidak banyak yang bercita-cita seperti
itu. Tentu saja, gajinya belum segede sekarang, bahkan biasanya malah tidak
digaji. Kalau sekarang bejibun yang mendaftar jadi guru, dulu malah sebelum
lulus sekolah, SK (Surat Keputusan) untuk menjadi guru sudah keluar, saking
kurangnya tenaga pendidik. Tapi si gadis kecil tidak peduli, dia tetap
mempertahankan cita-citanya, baginya gaji nomor sekian. Yang dia tahu, dia mau
jadi guru, pahlawan tanpa tanda jasa, ingin mengabdi kepada negaranya, sesimple itu. Menjelang magrib, dia
memberanikan pulang, tapi ke rumah neneknya.
“Kamu kemana saja? Semua orang khawatir mencarimu” sambut sang nenek sambil
memeluknya.
“Saya ke sawah, sengaja kabur. Saya tidak mau dinikahkan sebelum jadi guru,
titik.”
“Iya, kan kamu bisa bicara baik-baik.”
“Tapi om pasti memaksaku, dia kan sok berkuasa. Segala yang dia inginkan
harus terjadi.”
“Hushhh, nda boleh begitu. Mandilah dulu, sholat, terus makan sama nenek.
Habis itu kamu istirahat. Besok harus pulang, semua masalah harus diselesaikan.
Kabur nda akan menyelesaikan masalah."
Dia akhirnya menurut. Saat tubuhnya siap istirahat, samar-samar terdengar suara omnya di ruang
tamu. Pasti dia datang ingin menjemputku,
pikirnya. Saya harus cepat-cepat tidur. Dia
pun terlelap. Di ruang tamu, Omnya ngotot ingin membawanya pulang, tapi si
Nenek mengatakan besok saja. Biar dia istirahat malam ini di rumahnya.
Akhirnya, si Om mengalah.
Esok paginya sesudah sarapan, dia diantar neneknya pulang. Setelah melalui
musyawarah yang agak alot, si gadis boleh bernapas lega, keluarga besarnya
setuju tidak menikahkannya sebelum jadi guru. Hari-harinya pun berlalu seperti
biasa. Diapun harus menjalani kesehariannya sebagai pelajar. Pagi-pagi buta sekali
dia harus bangun, mengangkat air dan menjerangnya, membantu ibunya menanak
nasi, membakar ikan kering untuk sarapannya. Hampir semua masyarakat di desanya
berprofesi sebagai petani, begitu pula ibunya. Ibu yang membesarkannya sendiri,
menjadi single parent untuknya,
memutuskan tidak akan menikah lagi setelah ditinggal suaminya saat si gadis
masih dalam kandungan. Seorang wanita tangguh, tak kenal lelah, tak kenal kata
menyerah untuk menghidupi dirinya dan anaknya. Bekerja membanting tulang di
sawah orang, mencari nafkah untuk sekolah sang anak. Saat liburan, si gadis
tidak segan-segan turun membantu mencari nafkah. Kehidupan yang sulit itu tidak
menyurutkan niatnya untuk meraih cita-cita. Karena kemiskinan, dia hanya punya
sepasang sepatu dan sepasang sendal. Sepatu tersebut harus dijaga agar tidak
mudah rusak, padahal jarak sekolah ke rumahnya sangat jauh, belasan kilometer
dan ditempuh dengan jalan kaki dan medannya pun luar biasa, jalanan terjal
berbatu dan melalui sungai. Kalaupun ada kendaraan, itu adalah kuda atau mobil
truk yang sekali-sekali datang. Untuk mengakalinya, dia menggunakan sendal ke
sekolah dan menggantinya dengan sepatu ketika sampai. Begitu terus setiap hari.
Sepulang sekolah pun, dia harus langsung mengganti pakaian, memasak
sendiri_jika pun ada lauk_karena ibunya masih di sawah. Sebenarnya perjodohan
kemarin bukan keinginan ibunya, tapi keluarga besar terutama omnya.
Bukan sekali itu dirinya ingin dijodohkan, tapi ketangguhannya mempertahankan
prinsip membawa keluarganya akhirnya mengalah.
Setelah lulus dari SMP, dia pun harus merantau ke kota untuk melanjutkan
sekolah ke SPG. Dia harus menumpang di rumah orang lain, ipar tantenya.
Kehidupan barunya lebih sulit, kebayanglah bagaimana kalau menumpang. Meski
jarak ke sekolahnya lebih dekat dibanding saat SD dan SMP, dia tetap harus
bangun pagi buta untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Pulang sekolah pun begitu.
Tetapi, dia tidak pernah mengeluh dan menyerah, dia menganggap apa yang
dialaminya saat ini adalah bayaran untuk cita-citanya di masa depan. Tak terasa
waktu semakin menunjukkan kuasanya untuk berlalu. Hari-hari menjelang ujian
kelulusan pun dilalui. Dalam masa itu
ada pendaftaran menjadi guru, profesi yang diimpikannya sejak dulu, tapi
ijazahnya belum keluar. Beruntung untuknya, semua yang sekolah di SPG bisa
mendaftar sebelum lulus. Akhirnya dia dan teman-temannya mendaftar dan berhasil
lulus. Bahkan SK penempatan sudah ada di tangan. Dia ditugaskan mengajar di
tempat terpencil, beberapa kilometer dari kampungnya. Dia bisa bolak-balik
rumah, pikirnya. Dan perjuangan belum berakhir, the next journey menanti.
Untuk menuju tempatnya
mengajar, beberapa kilometer kembali harus dilalui. Dia pun tinggal di
perumahan sekolah dan pulang ke rumah hanya saat weekend. Gaji? Jangan ditanya. Itu bahkan tidak cukup memenuhi
kebutuhannya sehari-hari. Dia harus berhemat, uangnya harus ditabung. Setelah beberapa
tahun, dia berhasil mencicil motor bebek, kendaraan yang ngetrend saat itu. Masalah baru muncul, dia belum bisa mengendarai
motor ditambah lagi dia memiliki teman seprofesi yang otomatis harus boncengan
ke sana. Waduh, ribet juga yah. Tidak ada pilihan lain, dia harus memberanikan
diri belajar otodidak sekaligus membonceng temannya. Dan terjadilah kelucuan
itu, setiap beberapa meter dia harus jatuh dan bangun lagi. Hal itu terjadi
berulang-ulang sampai akhirnya dia pun lancar. Just fight and spirit.
Setelah dimutasi ke
sekolah-sekolah lain, akhirnya dia menetap membagi ilmu di SD kampungnya. Dia
juga menjalin asmara dengan seorang pria dari kampung seberang, tapi sayang
seorang lelaki seprofesi dengannya diam-diam telah melamarnya. Dan dia sudah
tidak punya alasan lagi, cita-citanya sudah tercapai. Setelah melalui proses
yang alot, akhirnya dia pun menikah dengan lelaki tersebut. Waktu pun berlalu
dan tingkat kesejahteraan seorang guru mulai diperhatikan pemerintah. Kehidupannya
berangsur membaik, mampu membangun rumah, membeli sawah dan menunaikan rukun
Islam ke 5. Dan yang turut merasakan kebahagiaan itu adalah anak-anaknya, meski
dia tetap tidak mau memanjakan dengan segala fasilitas yang hanya membuat
mereka bermental kerupuk. Dengan pengalaman agak terkekang dan diatur sana-sini
saat kecil, dia memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih masa
depannya sendiri.
Demikianlah, apakah
cerita ini fiktif? Tentu saja tidak. Ini nyata, pure. Hebat? Berhasil menerima nobel atau apalah piagam penghargaan
sejenisnya? Jawabannya tidak, masih banyak cerita yang jauh lebih hebat dari
ini yang dapat menjadi motivasi kita, tak ada nobel dan semacamnya. Tapi
bagiku, cerita inilah yang paling hebat dari apapun, cerita yang dialami
sendiri oleh wanita terdekat dalam hidupku. Cerita yang kelak menjadi inspirasi
hidupku, kekuatanku dan semangatku. Perjuangan meraih cita-cita yang tidak
mudah. Saat fasilitas belum selengkap sekarang. Apalagi zaman serba instan dan
mudah seperti sekarang, tentu saja lebih banyak hal yang bisa kita capai. Tapi
apa? Semakin teknologi maju, semakin dimanjakan pula sebagian dari kita,
terperangkap dalam zona nyaman yang kita buat sendiri, menghasilkan inersia tak
terbatas. Padahal jika kita ingin bergerak, hal yang lebih nyaman akan kita
dapatkan. Dengan kekuatan impian dan tekad, segala yang dicita-citakan insya
Allah akan tercapai.